Mata Malna


Cepen Jusuf AN

www.jurnas.com/epapers/20130217
Setelah beberapa bulan kau tak lagi bertandang ke rumahku, senja itu kau kembali mengetuk pintu. Duduk di ruang tamu, kau meminta maaf atas kesalahanmu, lalu bercerita, bahwa selama kepergianmu, kau sudah berusaha mencari jodohmu sendiri. Bahkan kau mengaku telah memasang iklan di biro jodoh. 
Aku mengangguk percaya. Jika kau masih pegang kuat prinsipmu, sudah selayaknya kau rela menunda berkeluarga. Bahkan, bisa jadi kau tak mendapatkan perempuan yang kau inginkan sampai pipimu berkerut dan rambutmu beruban…
***
Namanya Malna. Dua tahun silam, semasa kami masih bersama di bangku kuliah, ia kukenal sebagai lelaki hidung belang. Betapa tidak, ia, yang dulu tinggal satu kos denganku, berganti-ganti perempuan masuk ke dalam kamarnya.

Ah! Lupakan, keterangan itu! Sekarang, kau tahu, manusia bisa berubah kapan saja, dengan atau tanpa sebab yang jelas. Ia sudah bekerja di sebuah perusahaan, dan mendapat posisi yang bagus. Belakangan ini, setiap senja, ia selalu mampir ke rumahku. Mengeluh tentang jodoh yang tak kunjung ia temukan. Ia selalu muncul dengan wajah yang masam, menyiratkan kerinduan tentang sebuah hidup yang baru.
Istriku, yang juga sahabat Malna dulu,  selalu duduk menemaniku di ruang tamu, mendengarkannya bicara panjang lebar dengan suara menghiba. Dalam hati, aku tertawa, tapi begitu menatap matanya, ada yang tergerak di dadaku. Tatapan mata yang kurasa sebagai tatapan seorang kawan yang membutuhkan bantuan. Tatapan mata yang menebalkan rasa syukurku akan keadaanku kini.

"Baiklah, aku akan coba membantumu," tukasku, suatu hari.
Lantas esok harinya, sepulang dari kantor kuajak Endah, teman kerjaku yang masih lajang ke rumah. Menurutku, Endah cantik, dengan bibir tipis dan rambut hitam cepak. Aku, Malna, Endah, dan istriku berkumpul di ruang tamu. Setelah Endah dan Malna berkenalan dan membuat percapan-percakapan pendek, lalu kuajak Malna ke ruang belakang.

"Bagaiamana?" tanyaku.

"Ramping, dan cantik, aku suka. Tapi…"      

"Tapi apa?"
"Tubuhnya kurang tinggi sedikit. Aku tak ingin kependekkannya menurun pada anakku nanti."
"Jadi..."

Malna menggeleng. "Gimana kalau carikan yang lain?" Ia tersenyum kecil.


Kuhempas nafas berat. "Oke!"

Dan Malna tersenyum lebar.
***
Sudah beberapa kali kukenalkan Malna dengan beberapa perempuan, belum satu pun ada yang ia angguki.
"Rukmi sebenarnya cantik dan pintar, Han. Tapi aku tak suka caranya berpakaian, terlalu rapat." ; "Ah, kenapa Ika memakai kaca mata minus, coba kalau ia tak mengenakan kaca mata, pastilah ia yang akan kupilih."

Begitulah, aku hanya bisa mengelus dada mendengar alasan-alasan penolakannya. Begitulah pula, Malna semakin rajin bertandang ke rumahku. Sepulangku dari kantor, sering kulihat Malna sudah ada di ruang tamu bersama istriku, ngobrol dan bercanda dengan renyah. Sama sekali aku tak menyimpan curiga. Sebab aku sangat percaya dengan Malna. Malna yang sudah aku kenal hampir sepuluh tahun itu tak mungkin tega menyakiti kawannya sendiri. Dan aku percaya dengan kesetiaan isteriku.

Ketika kukenalkan ia dengan Nora, perempuan paling anggun yang pernah kukenal, Malna langsung membelalakkan mata. Tapi ketika mendengar logat bicara Nora, Malna berbisik di telingaku, "Sayang sekali ya, Nora ngapak. Coba kalau…." Aku langsung menghindar dari bisikannya. Mendadak darahku naik ke kepala.

"Sebenarnya perempuan seperti apa sih yang cari?" tanyaku sewot. "Bukankah dulu, Dewi, pacarmu asal Cilacap itu juga ngapak, Sinta dan Nuria juga berjilbab? Tapi mengapa sekarang kau…"
"Bukankah isteri adalah perempuan yang akan menemani kita sampai batas usia, Han? Aku tak ingin ada hal kecil yang tidak kusuka dari isteriku, yang nanti bisa merusak hubungan rumah tangga. Han, mengapa kau diam?"

Aku gelengkan kepala beberapa kali, heran. "Sebenarnya aku telah melakukan kesalahan besar, Malna. Kau jauh lebih tahu perempuan yang kau inginkan dari pada aku. Dan tentu, kau lebih pandai mencarinya. Bukankah kau telah banyak belajar di masa muda?" terangku dengan suara lantang.

Mendengar itu, Malna membelalakkan mata. "Jadi, kau tak mau lagi membantuku?"

"Bukan begitu maksudku, tapi..."

"Ah, sudahlah, aku paham makna kalimatmu. Maaf, selama ini aku sudah merepotkanmu." Malna beranjak dari kursi, lalu keluar dan melesat dengan mobilnya. Aku tak mengejarnya, tak sudi mengejarnya. Aku juga tidak mencarinya untuk meminta maaf, sebab aku merasa tak ada yang keliru dari ucapanku. Jika Malna masih menganggapku kawan kuyakin ia akan kembali lagi.

Dan ternyata dugaanku benar. Beberapa bulan setelah itu setelah itu, Malna kembali mengetuk pintu rumahku.
***
Tenanglah, Malna, aku akan bantu semampuku. Akan kuhubungi lagi kawan-kawan yang kukenal. Siapa saja. Akan kucarikan kabar apakah ada perempuan yang serasi untukmu.

Ya, meski sebenarnya aku tak suka dengan prinsipmu. Bagiku, seorang isteri tak harus sempurna dengan kemauan kita. Kau keliru, Malna, tapi kau tetap kuat memegang kebenaranmu sendiri.

Kau juga salah jika mengira aku dan isteriku merupakan pasangan yang selalu hangat, tak pernah bertengkar, dan rukun sepanjang hari. Kau mesti percaya dengan keteranganku, bahwa hampir setiap minggu, dalam rumah tangga kami selalu ada percikan api. Ada sekian hal yang tak sukai dari isteriku, mulai caranya menghidangkan makanan, merawat kertas-kertas kerjaku, sampai saat kami di ranjang.

Jangan salah sangka, Malna. Kalaupun kami selalu terlihat hangat di depanmu, itu karena kami telah sepakat untuk tidak menunjukkan pertikaian pada orang lain, terutama kepada orangtua kami sendiri.  Kau juga keliru kalau mengira aku memilihnya menjadi isteri karena wajahnya yang cantik, rambutnya yang panjang dan postur tubuhnya yang tinggi anggun. Sudahlah, kita akhiri perdebatan ini, sebab tak akan ada ujungnya. Boleh saja kau tak percaya dengan keteranganku, tapi aku telah berkata dengan terbuka.

Kini, di ruang tamu rumahku, kau duduk tertunduk. Dan aku sudah menebak bahwa Liana yang baru saja kuperkenalkan padamu di sebuah kafe itu tak masuk dalam dafdar pilihanmu. Tapi tenanglah, aku tak akan memakimu. Bosan aku berdebat tentang keinginanmu yang lejit.

Mataku nyalang memandang ke luar pintu yang terbuka. Cahaya bulan  mencipta bayang-bayang rimbun pohon kedondong. Angin membawa masuk aroma mesiu dan debu. Kelebat serta deru kendaraan tak henti-henti mengalir, meninggalkan bising dengung menyebalkan. Membuat malam terasa lebih panas dan gerah.

Isteriku muncul dari balik pintu, membawakan dua cangkir teh hangat. Kau mendongak, mengamati wajah isteriku cukup lama, lalu menunduk saat sadar aku telah memperhatikanmu. Tak seperti biasa isteriku langsung masuk ke dalam. Ya, barangkali isteriku mulai jenuh memandang mukamu yang kusut. Entahlah.

Kau mengamati punggung isteriku yang hilang di balik kelambu, kemudian kembali menunduk. Diam. Entah pikiran apa yang tengah berkecamuk di kepalamu.

Selama kau diam, aku menerka-nerka tanggapan yang akan kau keluarkan tentang Liana. Barangkali tubuh Liana yang menurutku seimbang, di matamu nampak terlalu besar, dan kau merasa akan malu saat membawanya ke acara-acara keluarga. Atau kau tak suka dengan rambutnya yang bergelombang, sebab sejauh yang aku tahu kau lebih menyukai rambut perempuan yang lurus dan panjang.

Ah, aku mesti siap mendengar perkataan yang akan berloncatan dari mulutmu sebentar lagi. Aku tak boleh marah dan mesti empati.

Tapi entah kenapa, kali ini kau nampak ngungun. Adakah kau tengah menyesal dengan prinsip yang kau anggap benar itu, Malna? Atau, barangkali dadamu dipenuhi keraguan, dan rasa sungkan untuk kembali memintaku mencarikan jodoh buatmu? Kau sahabatku, Malna. Katakan saja keinginanmu, semampuku akan kubantu. Meski aku harus bekerja lebih jeli, mengamati sifat dan lekuk tubuh, serta wajah perempuan sebelum aku junjukan ke hadapanmu.

Mendongaklah, Malna. Agar bisa kutatap matamu dan aku ikut merasakan kesedihanmu, keinginanmu yang menggebu untuk segera berkeluarga. Ah, kau tak pernah tahu, karena aku tak pernah jelaskan hal itu padamu. Bahwa tatapan matamu sanggup memadamkan muak dan lelahku.

Aku dehem, berharap kau mendongak. Tapi kau tetap beku di kursi merah saga itu. Kuulangi dehemku, sembari bersiap menanti tatapan matamu yang barangkali tak berubah.

"Malna!" Karena terlalu lama kau terdiam, maka kutepuk pahamu.

Pelan-pelan kau mendongak, mengusap muka dengan dua telapak tangan, lalu menatapku. Berpandangan denganmu, aku rasakan ada sesuatu yang asing. Ya, sudah telalu sering kau melempar tatapan mata menyimpan kesedihan, tatapan mata seorang kawan yang meminta bantuan. Tapi sekarang aku merasakan ada pancaran aneh dari matamu. Pancaran yang sebelumnya tak aku kenali sepanjang usia persahabatan kita.

Dan begitu saja tatapan matamu menjelma mata pisau, setelah kau mengatakan sesuatu dengan suara lirih mendesah. Tatapan matamu berkilatan, mencabik-cabik dada dan leherku. Pancarannya menyirap darahku. Memandangnya, urat leherku seperti hendak terpotong. Dua belah mataku sendiri kian membelalak. Setengah menantang, setengah tak percaya dengan apa yang baru saja kau katakan..

Sungguh, aku tak pernah menyangka akan mendengar kalimat gila yang meloncat dari mulutmu: "Han, sebenarnya sudah lama aku jatuh hati dengan isterimu."

Kalimat itu, membuat waktu seperti mati.

/Yogyakarta-Wonosobo, 2006-2012

0 Response to "Mata Malna"