Sastra, Doa, dan Spirit Perlawanan

Jusuf AN 
 
Wahai kekasih, semoga kesejahteraan atasmu, semoga rahmat Allah atasmu

Terbitlah bulan purnama, samarlah bintang-bintang karenanya

Kami tidak pernah melihat ketampanan sepertimu, wahai wajah kegembiraan



Mumpung masih dalam suasana memperingati maulid Nabi Muhammad Saw, saya sengaja membuka tulisan ini dengan terjemahan nadzam (puisi) Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Di bulan Rabu'ul Awwal seperti sekarang, hampir setiap malam puisi tersebut dibacakan dalam bahasa aslinya (Arab) baik di rumah, masjid, maupun pesantren. Di tanah kelahiran saya, yakni di sebuah desa terpencil di Wonosobo, ada banyak kelompok Berjanjen (demikian mereka menamai), mulai dari kelompok anak-anak, pemuda, ibu-ibu, dan bapak-bapak di tiap-tiap RT. Dengan penuh semangat dan tingkat kekhusukkan yang berbeda-beda, biografi dan puji-pujian untuk Nabi dibacakan, dinyanyikan dan sebagian kolompok mengiringinya dengan tabuhan rebana, dan diakhiri dengan doa-doa.


Kitab yang ditulis oleh Syekh Ja’far Al-Barzanji berjudul asli ‘Iqdul Jawahir memang fenomenal. Meski belakangan kitab tersebut lebih dikenal dengan nama marga pengarangnya (Al-Barzanji) ketimbang judul aslinya yang berarti “Untaian Mutiara”. Meski tidak sedikit orang yang membacanya setiap malam, pada hajatan pernikahan atau kelahiran bayi, tidak memahami isinya, sebagian atau seluruhnya, bahkan sekadar terjemahannya. Meski ada pula orang yang mengkritiknya sebagai kitab yang terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan dan menggambarkan pribadi Rasulullah Saw. Yang jelas, ‘Iqdul Jawahir yang terbagi dalam dua bagian, yakni Natsar (prosa) dan Nadzom sudah terlanjut menjadi bagian yang sulit dipisahkan di kalangan Muslim, khusunya di Nusantara.

Sejarah lahirnya ‘Iqdul Jawahir sendiri bermula saat Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang punya hajat membangkitkan spirit perlawanan umat Islam untuk merebut kembali Masjidil Aqsha yang telah dikuasi tentara Salib (Inggris, Prancis, dan Jerman). Hajat besar Sultan akhirnya terwujud, setelah beliau menyelengarakan peringatan Maulid Nabi besar-besaran dengan terlebih dulu mengadakan sayembara penulisan riwayat hidup Rasulullah Saw. Dalam sayembara yang diikuti oleh banyak ulama dan sastrawan pada zamannya, ditetapkanlah Syaikh As-Sayid Ja`far Al-Barzanji sebagai pemenang dengan karyanya yang berjudul ‘Iqdul Jawahir.

Usaha yang dilakukan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi berbuah manis. Spirit perlawanan umat Islam menghadapi Perang Salib bangkit. Hingga, tepat pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut kembali oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa akhirnya kembali menjadi Masjid setelah sempat dijadikan Gereja oleh pasukan Salib.

Membaca kisah itu, barangkali kita bertanya-tanya, apa kelebihan ‘Iqdul Jawahir sehingga bisa membangkitkan semangat tentara muslim kala itu? Bukankah kitab itu berisi ringkasan biografi dan puji-pujian untuk Nabi, dan selebihnya adalah permohonan kepada Yang Kuasa?

Di dalam ‘Iqdul Jawahir kita tidak akan menemukan kalimat yang secara terang-terangan memprovokasi perang. Ini berbeda dengan Hikayat Prang Sabi yang ditulis Chik Pante Kulu yang telah memprovokasi semangat perang masyarakat Aceh untuk melawan penjahah Belanda.

Kandungan sastra dalam ‘Iqdul Jawahir lebih dekat sebagai sastra transendental yang berusaha membingkai nilai-nilai ilahiah melalui semesta makna. Ini hampir mirip dengan syair-syair Syaikh Abi Hasan As-Syadzily, Syaikh Ibu Atha’illah As-Sakandari, Syaikh Ihsan Bin Dahlan, yang sebagian dijadikan amalan oleh para sastri dan Kiai—mereka menyebutnya hizib.

Sebagai seorang pengarang, saya percaya dengan kegaiban kata. Untaian Mutiara Syekh Ja’far Al-Barzanji lahir dari kedalaman hati, dengan penuh perasaan cinta kepada Nabi, mengharap keberkahan, dengan tetap menggantungkan semuanya pada Allah Swt.

Di tangan sastrawan (juga ulama pilihan) kata-kata bisa diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lebih tajam dari pedang, sanggup mencairkan kerasnya hati, membangkitkan jiwa-jiwa yang pengecut, mendekatkan kita kepada Sang Pengatur Alam. Tetapi sekarang, agaknya sulit kita temukan karya-karya yang menggerakkan, membangkitkan spirit perlawanan terhadap penguasa yang dzalim, dan sekaligus mendekatkan kita kepada-Nya.



*) Jusuf AN, tinggal di Wonosobo

 Novelnya yang menunggu terbit berjudul “Pedang Rasul”

0 Response to "Sastra, Doa, dan Spirit Perlawanan"