Wahai kekasih, semoga
kesejahteraan atasmu, semoga rahmat Allah atasmu
Terbitlah bulan purnama,
samarlah bintang-bintang karenanya
Kami tidak pernah melihat
ketampanan sepertimu, wahai wajah kegembiraan
Mumpung masih dalam suasana
memperingati maulid Nabi Muhammad Saw, saya sengaja membuka tulisan ini dengan terjemahan
nadzam (puisi) Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad
al-Barzanji. Di bulan Rabu'ul Awwal seperti
sekarang, hampir setiap malam puisi tersebut dibacakan dalam bahasa aslinya
(Arab) baik di rumah, masjid, maupun pesantren. Di tanah kelahiran saya, yakni
di sebuah desa terpencil di Wonosobo, ada banyak kelompok Berjanjen (demikian
mereka menamai), mulai dari kelompok anak-anak, pemuda, ibu-ibu, dan
bapak-bapak di tiap-tiap RT. Dengan penuh semangat dan tingkat kekhusukkan yang
berbeda-beda, biografi dan puji-pujian untuk Nabi dibacakan, dinyanyikan dan
sebagian kolompok mengiringinya dengan tabuhan rebana, dan diakhiri dengan
doa-doa.
Kitab yang ditulis oleh Syekh Ja’far Al-Barzanji berjudul asli ‘Iqdul Jawahir memang fenomenal. Meski belakangan kitab tersebut lebih dikenal dengan nama marga pengarangnya (Al-Barzanji) ketimbang judul aslinya yang berarti “Untaian Mutiara”. Meski tidak sedikit orang yang membacanya setiap malam, pada hajatan pernikahan atau kelahiran bayi, tidak memahami isinya, sebagian atau seluruhnya, bahkan sekadar terjemahannya. Meski ada pula orang yang mengkritiknya sebagai kitab yang terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan dan menggambarkan pribadi Rasulullah Saw. Yang jelas, ‘Iqdul Jawahir yang terbagi dalam dua bagian, yakni Natsar (prosa) dan Nadzom sudah terlanjut menjadi bagian yang sulit dipisahkan di kalangan Muslim, khusunya di Nusantara.
Sejarah lahirnya ‘Iqdul
Jawahir sendiri bermula saat Sultan
Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang punya hajat membangkitkan spirit perlawanan umat Islam untuk
merebut kembali Masjidil Aqsha yang telah dikuasi tentara Salib (Inggris,
Prancis, dan Jerman). Hajat besar Sultan akhirnya terwujud, setelah beliau
menyelengarakan peringatan Maulid Nabi besar-besaran dengan terlebih dulu mengadakan
sayembara penulisan riwayat hidup Rasulullah Saw. Dalam sayembara yang
diikuti oleh banyak ulama dan sastrawan pada zamannya, ditetapkanlah Syaikh As-Sayid Ja`far Al-Barzanji sebagai pemenang dengan karyanya yang berjudul ‘Iqdul Jawahir.
Usaha yang dilakukan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi berbuah manis. Spirit perlawanan umat
Islam menghadapi Perang Salib bangkit. Hingga, tepat pada tahun 1187 (583
H) Yerusalem direbut kembali oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan
Masjidil Aqsa akhirnya kembali menjadi Masjid setelah sempat dijadikan Gereja oleh
pasukan Salib.
Membaca kisah itu,
barangkali kita bertanya-tanya, apa kelebihan ‘Iqdul Jawahir sehingga
bisa membangkitkan semangat tentara muslim kala itu? Bukankah kitab itu berisi
ringkasan biografi dan puji-pujian untuk Nabi, dan selebihnya adalah permohonan
kepada Yang Kuasa?
Di dalam ‘Iqdul Jawahir kita
tidak akan menemukan kalimat yang secara terang-terangan memprovokasi perang.
Ini berbeda dengan Hikayat Prang Sabi yang ditulis Chik Pante Kulu yang telah memprovokasi semangat perang masyarakat Aceh
untuk melawan penjahah Belanda.
Kandungan sastra dalam ‘Iqdul
Jawahir lebih dekat sebagai sastra transendental yang berusaha membingkai nilai-nilai ilahiah melalui semesta makna. Ini hampir mirip
dengan syair-syair Syaikh Abi Hasan As-Syadzily, Syaikh Ibu Atha’illah
As-Sakandari, Syaikh Ihsan Bin Dahlan, yang sebagian dijadikan amalan
oleh para sastri dan Kiai—mereka menyebutnya hizib.
Sebagai seorang pengarang,
saya percaya dengan kegaiban kata. Untaian Mutiara Syekh Ja’far
Al-Barzanji lahir dari kedalaman hati, dengan penuh perasaan cinta kepada Nabi,
mengharap keberkahan, dengan tetap menggantungkan semuanya pada Allah Swt.
Di tangan sastrawan (juga ulama pilihan) kata-kata bisa diolah sedemikian
rupa sehingga menjadi lebih tajam dari pedang, sanggup mencairkan kerasnya
hati, membangkitkan jiwa-jiwa yang pengecut, mendekatkan kita kepada Sang
Pengatur Alam. Tetapi sekarang, agaknya sulit kita temukan karya-karya yang
menggerakkan, membangkitkan spirit perlawanan terhadap penguasa yang dzalim, dan
sekaligus mendekatkan kita kepada-Nya.
*) Jusuf AN, tinggal di Wonosobo
Novelnya yang
menunggu terbit berjudul “Pedang Rasul”
0 Response to "Sastra, Doa, dan Spirit Perlawanan"
Posting Komentar