Review Novel Burung-burung Cahaya

Ahmad Zuhdi 
di http://santrirez.blogspot.com/2012/11/burung-burung-cahaya.html
 
Berbagai macam permasalahan yang terjadi di setiap liku kehidupan manusia dapat terjawab melalui kitab suci Al-Qur’an yang berisi risalah tentang larangan, kewajiban, kisah para sahabat, serta balasan atas setiap perbuatan yang telah dilakukan manusia di bumi ini. Bahkan tidak jarang kitab suci Al-Qur’an menjadi obat penawar racun di hati manusia. Namun bagaimanakah kitab Al-Qur’an tersebut difungsikan dalam kehidupan sehari-hari? Tak jarang orang-orang hanya mengakui Al-Qur’an sebagai kitab sucinya, namun dalam penerapan kesehariannya bahkan dalam seharipun belum tentu mereka memegang kitab suci yang kata mereka merupakan benda yang sangat berharga.

Namun, tak sedikit juga di antara mereka yang sangat tertarik terhadap apa yang terdapat dalam Al-Qur’an itu. Mereka mengkaji ulang apa yang tertulis dengan cara menghafalnya serta mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, Al-Qur’an mempunyai fungsi yang terlihat sangat jelas sebagai Pedoman hidup manusia. Meskipun demikian, tak jarang pula banyak di antara mereka yang awalnya tertarik mengkaji Al-Qur’an berdalih mundur dikarenakan tidak kuat menghadapi cobaan selama fase menghafal Al-Qur’an. Di saat keadaan sudah seperti itu, maka muncullah novel Burung-burung Cahaya yang mengangkat cerita yang bersifat lebih agamis jika dibandingkan dengan novel-novel remaja pada umumnya.


Dalam buku ini, penulis kelahiran Wonosobo yang merupakan alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga ini berhasil memberikan gambaran tentang pahit manis kehidupan yang dilalui seseorang dalam menghafal Al-Qur’an. Sehingga, memudahkan kita dalam mendeskripsikan suasana serta keadaan manakala kita berada pada posisi tokoh utama.

Dalam buku ini, diceritakan tentang seorang pemuda bernama Rijal yang memiliki masa lalu yang cukup kelam yang pada akhirnya memutuskan untuk menuruti wasiat ayahnya sebelum wafat dengan menjadi santri program tahfidz di sebuah pesantren di daerah Jawa Timur. Meskipun tekad yang dimiliki oleh pemuda itu sudah bulat, namun tentunya godaan yang ia rasakan juga tidak bisa dibilang mudah. Bahkan tekad pemuda itu sempat surut saat bertemu dengan pemuda lain yang ternyata sudah berjuang selama 10 tahun, namun belum juga mendapat gelar hafidz.

“Sudah sepuluh tahun berjuang untuk menghafal, tapi begitulah...”(halaman.12). Seperti itulah kata-kata yang keluar dari seorang penghafal Al-Qur’an yang sudah selama sepuluh tahun berjuang untuk menghafal Al-Qur’an.

Belum selesai dengan kerja keras yang setiap hari dilaluinya di pesantren itu, seorang perempuan yang selalu menjadi bayang-bayang akan dosanya yang dilakukan di masa lalu datang dan hadir kembali menjadi benalu dalam pikirannya, sehingga memberatkannya dalam menghafal Al-Qur’an. Muncul pula seorang tokoh perempuan yang meminta untuk menepati janji yang dulu pernah diucapkannya melalui sebuah surat yang isinya tidak lebih dari dua lembar kertas. Kedua perempuan dari masa lalunya itu menjadi seseorang yang sangat menentukan akan kelangsungan hidup Rijal di pesantren itu untuk menghafal Al-Qur’an.

Selain itu, diceritakan pula prediksi-prediksi yang pernah dilontarkan ternyata menjadi sebuah kenyataan, juga harapan yang benar-benar terkabulkan namun berakhir pilu. Sebuah kesalahpahaman yang tak terelakkan menjadi tekanan sesaat yang berujung pada terbongkarnya kebenaran.

Dalam buku ini juga diceritakan kisah tentang betapa berartinya sebuah ikatan bernama persahabatan antara sesama penghafal Al-Qur’an yang saling berlomba-lomba dalam mencapai tingkat hafalan yang paling tinggi, karena semakin tinggi tingkat yang mereka hafal, akan semakin banyak pula cobaan yang menghadang dan menanti di depan sana. Oleh karena itu, maka akan mempertebal keimanan mereka apabila berhasil melewati ujian yang diberikan Allah SWT.

Disamping perjuangan yang dirasakan ketika mereka berusaha menghafal, mereka juga harus bersabar di saat cinta dalam hati kian bersambut oleh hati yang lain. Saat-saat yang terjadi setelah maut nyaris benar-benar mendekati dan saat yang paling dekat dengan malaikat pencabut nyawa yaitu Izrail. Di saat rasa cinta yang dimiliki memberikan pilihan yang entah itu dapat menjerumuskan atau menyelamatkan. Tentang cinta yang tak mengenal kata benci walau tak berbalaskan, juga tentang sebuah pengabdian yang tak membutuhkan sebuah alasan apa dan mengapa.

Pemaparan tentang kerasnya perjuangan dalam menjalani kehidupan ini memiliki nilai tersendiri terhadap buku ini. Selain itu, penyelesaian dalam menghadapi masalah menjadi pembelajaran yang sangat mahal bagi para pembaca, khususnya untuk mereka yang bercita-cita menjadi seorang yang hafal Al-Qur’an yaitu dengan gelar Hafidz atau Hafidzah. Berbagai cerita dari suka hingga duka dapat disampaikan dengan sangat hidup oleh penulis, hal ini menimbulkan kesan mendalam di ingatan pembaca. Namun pada beberapa halaman ditemukan adanya ketidakrataan penulisan atau kesalahan percetakan yang akan sedikit mengganggu pembaca karena letaknya yang agak sedikit miring ke atas. Namun secara umum tidak mengubah keadaan buku ini yang memiliki nilai yang sangat besar bagi pembelajaran remaja yang pada umumnya membaca novel-novel sejenis. Dengan bahasanya yang universal ini, orang tuapun dapat membaca novel ini karena ceritanya yang kaya akan makna. Jadi, para orang tua juga dapat mengontrol anaknya dalam memilah dan memilih buku bacaan apa yang cocok untuk perkembangan masa remaja anaknya.

0 Response to "Review Novel Burung-burung Cahaya"