Realisme Magis dari Wonosobo

OLEH: RIDWAN MUNAWAR GALUH *)   

     Judul Buku :Gadis Kecil yang Mencintai Nisan
Penulis: Jusuf AN
Penerbit : Indie Book Corner-Jogjakarta
Cetakan: I, 2012
Tebal: x+ 94 hlm.


Realisme magis adalah sebuah fenomena dunia. Ia adalah gaya penuturan yang mengangkat apa yang sublim dan abstrak dalam kenyataan menjadi real dan seolah nyata dalam sebuah persitiwa imajiner. Kita mengenal sastra realisme magis dari terutama pengarang-pengarang pionir genre ini dari Amerika Latin semacam Garbriel Garcia Maruez dan Carles Fuentes. Karya dari kedua tokoh itu adalah suara alam bawah sadar masyarakat Amerika Latin yang pernah dilanda masa kolonialisme panjang. Dengan realisme magis, teks karya sastra menjadi medan ungkap yang baik dalam menampilkan apa yang minor, apa yang sublim dan tersembunyi dari kosmos sebuah masyarakat yang telah lama terbungkam dan termarjinalkan oleh modernisasi kolonial.

Karena relevansinya dalam mewakili tradisi simbolik yang rumit dan konteks sosio-psikologis yang kompleks itulah, maka realisme magis menjadi inspirasi bagi sastrawan-sastrawan di belahan dunia ke-tiga yang lain untuk mengangkat suara-sura dari alam kebudayaan mereka sendiri. Di Indonesia, kita tentu akan menemukan Danarto, yang dengan kepiawaiannya mampu mengangkat kosmos batin kebudayaan Jawa. Di wilayah kesusasteraan Melayu, kita akan bertemu realisme magis gaya Tun Seri Lanang, dari belahan benua Afrika kita akan bertemu dengan realisme magis gaya Ben Okri.           

Lalu di manakah seorang Jusuf AN menempatkan diri dalam tradisi realisme magis ini? Rupanya ia memilih menghadapkan dirinya ke persoalan-persoalan masyarakat pedesaan Jawa, terutama dalam hal ini adalah Wonosobo sebagai kampung halaman penulis. Dalam menyelami kehidupan masyarakat Jawa pedesaan yang penuh dengan hal-hal mistik dan magis, maka memakai gaya realisme magis merupakan sebuah pilihan tepat bagi seorang pengarang dalam menentukan genre dari karyanya. Hal ini nampaknya disadari betul oleh Jusuf AN.  Jadi berbeda dengan Danarto, Jusuf AN memilih mengangkat mitos-mitos pedesaan Jawa yang lebih kental dan dekat dengan kehidupan wong cilik. Mengangkat tema-tema horor dan klenik seperti hantu, pocong, kuburan, sebenarnya adalah sesuatu yang riskan, di mana sebuah karya prosa bisa terjatuh dan terjebak menjadi banal dan cenderung menjadi sastra pop kacangan. Akan tetapi rupanya Jusuf AN lebih memilih mengambil resiko itu dengan mempertaruhkan kepengarangannya, dengan meyakinkan akhirnya ia bisa melewati resiko keterjebakan ini dan mempertahankan karyanya untuk tetap berada di jajaran sastra serius.     

Dalam cerpen “Sawan Manten” diceritakan bagaimana adanya kepercayaan bahwa pada saat melangsungkan pernikahan atau di masa-masa awal perkawinan, akan ada suatu mala, pralaya yang mengganggu bahkan meluluh lantakkan ikatan perkawinan. Kepercayaan ini telah tumbuh di kalangan masyarakat yang menjadi latar sosial real si pencerita, dan tentu saja dengan karakteristik mistis yang tidak terpermanai. Lewat cerpennya ini, pencerita memberikan sudut pandang lain akan bagaimana mitos itu bisa terjadi, bahwa sawan manten tidak datang dari dunia gaib, melainkan dari konflik antar manusia yang tersembunyi dan diam-diam muncul ke permukaan. Dengan ini, pencerita merefleksikan suatu mitologi dan mencari latar-latar konfliknya secara rasional.

Dalam cerpen “Perempuan Gembel Debleng”, pencerita mengangkat mitos khas masyarakat Dieng tentang adanya seorang anak yang terlahir dengan rambut gimbal. Bila ada anak yang terlahir dengan keadaan semacam itu, rambut gembelnya mempunyai tuah tersendiri, yakni tidak boleh dicukur sembarangan, karena akan mendatangkan kesialan, dan untuk membuang sial itu harus diadakan ritual ruwatan terlebih dahulu. Dengan detail diceritakan bagimana seluk beluk tradisi ruwatan akan gembel ini, seakan pembaca diajak memasuki alam fikiran masyarakat mistis masyarakat Dieng. Namun cerita ini berujung pahit, dimana perempuan gembel debleng ini mengalami guncangan nilai saat dia kemudian merantau ke daerah perkotaan, saat ia mulai goyah di wilayah antara dua nilai; nilai mistisisme pedesaan dan materialisme perkotaan, dan pada akhirnya si tokoh pun meminta kematian sebagai prasyarat bagai ruwatan yang keempat kalinya. Lewat cerpen ini pencerita ingin menelusuri konflik batin yang dialami manusia mistis di tengah pergesekan dua nilai yang saling bertentangan.

Dalam beberapa cerpennya, Jusuf AN juga menghilangkan watak realisme dari ceritnya, dengan kata lain hanya nuansa magisnya yang tercipta. Mungkin ini disengaja agar justru pembaca sendiri yang bisa dengan kreatif menemukan alur realis yang tersembunyi di balik nuansa fiksi yang semata magis

Selain mengangkat mitos-mitos di kampung halamannya sendiri, pencerita juga mengangkat mitos-mitos dari daerah lain, termasuk dari Jogja yang merupakan tempat perantauan pencerita, diantaranya dalam cerpen “Rumah Api”, “Hujan Menggambar Nginong”, dan “Perempuan Peramal”. Di sini alam fikiran pencerita yang “Wonosobo-sentris” bertemu dengan alam fikir masyarakat kota yang meskipun sudah tergerus dengan pola materialisme, namun sesungguhnya masih terlihat unsur-unsur pola fikir mistis yang terbawa dari latar masing-masing. Jogja dalam alam imajinasi pencerita bukanlah Jogja tradisional, melainkan sebuah ruang bernama kota yang di dalamnya terhimpun-riuh ragam pola fikir dan alam batin manusia.  Dengan mentransfigurasikan alam bawah sadar mitologi campur aduk di kota ini, karya Jusuf AN menjadi bentangan sebuah intertekstualitas antar mitologi dari setiap latar daerah menjadi suatu bentuk mitologi jenis baru yang aneh. Sebuah upaya kreatif menemukan suatu urban-legend?

Jadi berbeda dengan realime magis sastra Jawa terdahulu yang dengan penuh otimisme kembali ke akar, cara Jusuf AN kembali ke akarnya justru dipenuhi dengan nuansa traumatis, penuh ironi dan keterpecahan, dan penemuan akan paradoks-paradoks alam batinnya. Ini mengingatkan kita akan aforisma dari salah satu puisi Octavio Paz yang jika ditafsirkan secara bebas kurang lebih seperti ini; “kebudayaan kita bagai kendi yang pecah, bukan lantas dengan membuat kendi baru kita akan menemukan diri, tetapi justru dengan merangkai kembali pecahan-pecahan kendi itu”.


*) Ridwan Munawwar Galuh, pecinta buku. 
Studi di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Jogja.

0 Response to "Realisme Magis dari Wonosobo"