Sang Perayu



Cerpen Jusuf AN
(Pernah dimuat di Tribun Jabar)

TUGASKU hanyalah merayu. Dan merayumu, Rijal, tak segampang merayu orang kebanyakan. Merayumu butuh lebih energi, dan tentu strategi. Juga kesabaran berlipat-lipat, menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan busur-busur rayuan paling mematikan.
Aku masih di sini Rijal, berkelebatan di atas kepalamu, di sekitar dadamu, mengawasimu saat malam kau berangkat tidur hingga kau bangun tidur dan kembali hendak tidur. Aku tak pernah jauh-jauh darimu. Aku terus bersamamu, menguntitmu kemana pun kau pergi. Akulah yang kau anggap musuh sehingga berkali-kali kau berusaha mengusirku.

Boleh saja kau mati-matian ingin mengusirku, tapi aku, aku, Rijal, akan tetap bertahan. Doa dan ayat Al-Qur’an yang kau lantunkan tentu saja akan membuatku terlecut dan kemudian aku menyingkir darimu sembari merintih kesakitan. Tapi aku tak mati, Rijal. Aku cuma sakit. Sakit yang lama-lama, karena saking terbiasa aku alami, sehingga tak pernah lagi kuhayati rasanya. Sakit yang sebentar saja akan hilang setiap kali kukenang masa laluku: kegagalan-kegagalan yang aku alami, serta dendam kesumat pada moyangmu. Betapa aku  sengaja memelihara dan senantiasa mengingat masa laluku. Sakitku akan segera musnah, manakala kuingat bahwa kau adalah manusia, yang punya saat-saat lengah, yang pastilah suatu ketika akan takluk oleh rayuanku. Sakitku, seluruhnya kutabung, dan kelak aku akan merayakan kemenangan sambil mengenang perihnya perjuangan.
Sungguh, masih lekat ingatanku saat-saat berperang menghancurkan benteng cahaya di dada Musthafa, ayahmu. Keseriusannya bergelut dengan kitab-kitab tafsir, hadis, tauhid, dan fiqih, tak sanggup kuperdaya. Niat dan tekadnya menghafal Qur’an menyala-nyala, menutup celah-celah hatinya untuk kumasuki. Tekad itu pula yang kini meletup-letup dalam dadamu.
Aku tak kuasa memaksa, tak punya daya untuk mementahkan atau membusukkan rencanamu untuk menghafal al-Qur’an. Maka, mau tak mau aku mesti mengikutimu, bersabar menunggu saat-saat lengahmu sembari mengotak-atik rencana agar dapat mengalahkanmu lebih cepat. Mengalahkanmu, yang berarti kemenanganku, adalah ketika kau mati setelah benar-benar melepas ketahuhidan pada Allah. Itu adalah kemenanganku yang utama. Kalau itu tak dapat kucapai, paling tidak aku dapat mengalahkanmu dengan cara membuatmu sulit menghafal al-Qur’an, atau membuatmu dapat lebih cepat hafal al-Qur’an tapi pada saat yang bersamaan sifat ke-akuanmu berhasil kusemaikan. Aku juga berharap Zulaikha, perempuan yang kau cintai itu, mengingkari janjinya untuk menunggu sampai kau hafal Qur’an. Janji yang Zulaikha tunjukkan dengan hanya seanggukan kepala. Aku ingin hatimu patah dan remuk oleh pengkhianatan Zulaikha nantinya. Atau, Zulaikha setia menunggumu, tetapi kau yang tak setia. Sebab, betapa banyak perempuan di dunia, dan tak sedikit yang lebih ayu dan cerdas dari Zulaikha. Ah, tapi mungkin kau akan tetap pada tekadmu untuk menikahi Zulaikha, dan tak apa. Tapi kelak, (mungkin saja) Zulaikha mandul, dan kau mencampakkannya untuk kemudian menikah lagi dengan perempuan yang subur.  
Aku telah mengantongi beberapa bahan yang akan kurangkai dalam rangka memenangkan perjuanganku. Aku telah menyusun sekian siasat, sesaat setelah kutahu renanamu berangkat ke Jombang tak bisa diganggu gugat. Aku punya rencana utama, rencana cadangan, rencana tambahan, rencana alternatif, dan rencana-rencana lain yang semuanya masih dalam bayangan. Aku bukanlah koruptor, pembunuh, atau perompok bank, dan memang caraku menyusun rencana tidak dapat disetarakan dengan mereka. Betapa menyusun rencana sudah menjadi kebiasaan bagiku, sehingga aku tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan sekian peluang, menandai sekian kelemahan-kelemahanmu, untuk kemudian bersiap menuju medan juang selanjutnya.
Rijal, kau boleh tersenyum ketika teringat nikmat terbesar dalam hidupmu: kembali hidup sesudah jantungmu dinyatakan tak berdegup. Kau boleh beristighfar jutaan kali sambil menangis saat teringat masa lalumu yang segelap malam gerhana. Kau boleh menyusun apa saja agar matahari menerangi jalan-jalanmu di masa depan. Kau boleh berdoa, memohon apa saja. Kau boleh, Rijal, meski aku tak pernah menyuruhmu. Dan tanpa kusuruh pun kau telah melakukan sebagian di antaranya. Tapi, Rijal, inilah aku, makhluk yang kau namai dengan setan ini, telah telah seribuan tahun mengenal bumi dan perangai manusia. Inilah aku, Rijal, yang tersembunyi dari matamu, senantiasa akan mengiringi gerak hati dan pikiranmu.
Semua dokumen masa lalumu aku simpan di kepalaku yang kecil dan bertanduk. Aku hafal setiap lembar catatan hari-harimu sejak lahir hingga dua puluh dua usiamu kini. Semuanya kusimpan rapi, dapat aku keluarkan kapan saja jika aku butuhkan, kapan pun dapat kujejalkan ke kepala atau dadamu.
Kau tak secerdas Musthafa muda, yang kini genap seratus hari lalu dikubur. Tapi aku tak bisa meremehkanmu. Musthafa telah memaku adzan di telinga kananmu, dan iqamat di telinga kirimu beberapa detik setelah kau pertama kali memekikan tangis karena kucubit. Kau yang dilahirkan ketika bumi mulai bertumbuhan dengan gedung-gedung, dan aspal mulai disiramkan di jalan-jalan mulanya adalah anak manja yang masih senang menetek ibumu sampai usia hampir lima. Tak seperti Musthafa kecil yang senang bertualang ke hutan, kau kecil menggemari main bola dan bermain kartu remi di kedai kopi. Sampai kemudian guru sekolahmu membuatmu jatuh gila pada buku, dan tak dinyana, setelah buku menjadi kawan sepimu, dan kau mulai pandai berwudhu dan merapal Qur’an, mulailah nampak tanda-tanda darah Musthafa yang mengalir di tubuhmu.
Memang, kemudian aku telah berhasil mengenalkanmu pada perempuan bernama Zulaikha, santri ayahmu, tetapi apa yang dulu aku harapkan setelah kau jatuh hati dengan perempuan itu sangatlah melenceng. Kau ketahuan membelai jidad Zulaikha, sesuatu yang sangat menggeramkan Musthafa. Kau menolak dinikahkan dan Ibumu kemudian memberi jalan keluar. Kau kuliah dikuliahkan di Jogja, sementara Zulaikha pulang ke kampungnya.
Di Jogja memang telah berkali-kali kau hampir berhasil kuperdaya. Hampir, itu artinya tidak lama lagi. Ada cahaya yang senantiasa menyelubungi dadamu saat aku berusaha meniupkan suara-suara, rayuanku. Mungkin cahaya itu adalah doa Musthafa, entahlah. Yang terang, kau tak pernah menamatkan kuliahmu. Kau memilih pulang ke Tuban, melupakan proposal skripsimu. Kau memilih hengkang kuliah setelah ayahmu meninggal untuk kemudian berencana menghafal Qur’an. Kau telah bertandang ke rumah Zulaikha di Rembang, dan di sana kau menggantungkan janji: akan melamar perempuan itu setelah kau mengantongi gelar hafidz al-Qur’an. Tak dinyana, teranyata Zulaikha masih terus mengenangmu.
Dapat aku bayangkan jika rencana yang telah kau susun itu berjalan mulus. Kelak setelah hafal segeluntung al-Qur’an kau akan menikah. Lalu Zulaikha kau boyong ke Tuban. Kau akan menggantikan Musthafa, menghidupkan pengajian di Masjid, membesarkan pesantren, dan beranak pinak. Kau akan semakin sukar untuk mendengar bisikan-bisikan yang kuhembuskan ke dadamu. Aku akan lebih sering menangis dan merintih oleh lecut doa dan ayat-ayat Qur’an yang kau baca.
Ough, betapa membayangkan keberhasilan rencanamu itu, seketika membelakak mataku, mengepal tanganku, mengencang urat leherku, tegak ekorku, mengaum geramku.

0 Response to "Sang Perayu"