Mencoba Membaca Puisi Jusuf A.N: Kota




Senang rasanya ketika puisi kita diapresiasi orang lain. Catatan berikut ditulis oleh Rahmat Mustakim, Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ia mencoba membuat catatan tentang puisi saya berjudul "Kota" yang dimuat di dalam Buku Puisi Negeri Abal-abal, Antologi 99 Penyair.





  

       Kota
Oleh: Jusuf A.N

Kota adalah gasberacun
yang berebut masuk ke rongga dada
sebab pohon-pohon telah berganti tiang listrik
daun-daun sebatas tiruan dari plastik

Kota adalah banjir
rumah-rumah yang berdesakkan
gedung-gedung yang ditinggikan
jalan air tak pernah terpikir

Kota adalah surga
bagi para pemilik modal
kios-kioas dan swalayan
menggantikan pasar tradisional
pedagang kecil tersingkirkan

Kota adalah hiruk-pikuk
yang tak pernah tidur
ladang bagi jutaan pemuda kampung
yang tega membuang ulu cangkul

Kota adalah kemiskinan
yang tersembunyi di kolong jembatan
anak-anak kecil mengemis di perempatan
diawasi perempuan tua yang mengaku ibunya

Wonosobo, 2011

     BAIT PERTAMA. Deteorisasi: masalah lingkungan yang mengalami degradasi kualitas. Penyair di sini memperjelas protesnya pada keadaan lingkungan kota yang dirangkulnya, yang telah mencipta: polusi udara – mungkin mewakili seluruh keterbalikan pada keadaan lingkungan. Dan yang seperti itu: ancaman serius terhadap kesehatan penduduk kota. Kota adalah gas beracun/yang berebut masuk ke rongga dada. (Kota: Bait 1, baris 1-2).  Lalu penghasil oksigen makin lama menipis, akibat pohon yang sudah ‘tak kasat mata’: sebab pohon-pohon telah berganti tiang listrik (Kota: Bait 1, baris 3). Tak ada lagi pohon, maka polusi yang demikian pun menjadi semakin liar menyerang nafas para penduduk kota. Pohon-pohon yang masih bersisa saat ini hanyalah memberi ruang kedap bagi produktifitas oksigennya. Dan manusia ‘makin sulit’ saja untuk bernafas.

     BAIT KEDUA. Lautan hasil tetesan hujan membawa sebab mengapa ia tumbang. Pada bait kedua ini, penyair mencoba ingin menjawab: mengapa banjir. Eksistensi Tuhan pada bait kedua mungkin berungkap: Aku tidaklah salah pada rayuan waktu, tanyalah pada gedung pencakar langit – mereka adalah saksi tenggelamnya kota di samping kuasa Tuhan; Not God error. Dan banjir adalah fenomena buatan yang bersebab dari ulah tangan manusia – ketidakpedulian manusia untuk manusia. Karena manusia terus saja membangun dan membangun tanpa memperhatikan keadaan gorong-gorong – yang fitrahnya sebagai tampungan air hujan, yang harusnya bisa ditebak kapastiasnya.

Kota adalah banjir
rumah-rumah yang berdesakkan
gedung-gedung yang ditinggikan
jalan air tak pernah terpikir
(Kota: Bait2, baris 1-4)

     BAIT KETIGA. Taman firdaus: adalah surga abadi. Tapi, syair ini berujuk pada surga dunia – bendera Kapitalis yang semakin tinggi berkibar: meruntuhkan pedagang yang kecil modal. Pasar modern naik daun, pasar tradisional turun tahta. Modernisasi meledakkan pola pikiran masyarakat kota yang konsumtif. Barangkali, masyarakat itu akhirnya prestise, orang-orang yang enggan melangkah ke pasar tradisional, mereka lebih berpikir pada kepraktisan dan melihat keadaan pasar modern yang dirasa lebih indah dipijak. Masyarakat kota kita adalah korban, sekaligus pelaku.

Kota adalah surga
bagi para pemilik modal
(Kota: Bait3, baris 1-2)

     BAIT KEEMPAT. Menegaskan tentang pekerja kota dari luar kota yang terjaring pada syair – kaum urban. Di mana, mereka yang terlibat dalam ‘mengacaukan demografikota, adalah yang tega menyingkirkan kota kelahirannya sendiri. Ladang bagi jutaan pemuda kampung/yang tega membuang ulu cangkul (Kota: Bait 4, baris 1-4)

     BAIT KELIMA. Terakhir, bicara kesenjangan kota pada hal yang terkhususnya: kemiskinan. Tak bicara pada indikator, tapi penyair telah berangkat dari pembacaan literatur – tentang sebab yang miskin itu. Negara kita belum merdeka perihal kehidupan yang layak, meski di perkotaan: disitulah kesenjangan tertinggi. Banyak yang belum peroleh nasib mujur. Sebab,banyak pekerja cilik yang mencuri start: melamar pekerjaannya di persimpangan jalan – yang mungkin tubuhnya akan bersandar lelah di kolong jembatan pada suatu nanti  – yang pantas hinggap bersama sajak sebagai perwakilan dari keadaan yang miskin.

Kota adalah kemiskinan
yang tersembunyi di kolong jembatan
anak-anak kecil mengemis di perempatan
diawasi perempuan tua yang mengaku ibunya
(Kota: Bait5, baris 1-4)

     MORAL. Puisi ini pengejawantahan realita dan pembawaannya. Penyair memprotes pada keadaan kota yang barangkali kediamannya atau entah kota lain – yang telah terbalik. Ia membaca kekhawatiran bahwa makin merajalelanya gejala sosial di perkotaan – yang barangkali timbul tanpa perencanaan tata ruang yang seharusnya. Ia akhirnya lelah pada kenyataan. Ia menggugat tanah kota yang sebenarnya ingin berontak – semenjak semakin padamnya ‘cahaya’ yang menerangi ‘gemerlap’ kota itu. Sebagai tindak dari: Human Error, dan akhirnya dehumanisasi; betapa usilnya ulah tangan-tangan manusia yang nakal tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan pada kota nantinya. Gejala sosial: segala yang mengelir hitam itu tertuang pada puisi kritik ini. Kota, dan segalanya yang dibicarakan: singkatnya terangkum dalam lima bait; adalah pijakan masa depan kita. Jagalah morfologi kota selagi sukmanya sehat: agar selalu bisa ditimang – kepada manusia yang berpijak. Jadi, janganlah diputarbalik untuk keadaan yang buat kota menetes air mata.

Ditulis: Rawamangun, 10 April 2013

2 Responses to "Mencoba Membaca Puisi Jusuf A.N: Kota"