Dukun Cilik dan Nenek Misterius


Cerpen Jusuf AN

dimuat di Minggu Pagi, Enteng Berisi, Minggu IV September 2010

“Siapa tidak kenal dengan Almustaj? Pastilah Alberto telah membaca berita tentangnya, dan sewaktu-waktu akan mencoba kesaktian pengobatan dukun cilik itu,” pikir Marsi.

Marsi masih ingat benar wajah Alberto, lelaki yang paling ia benci, yang senantiasa ditunggu kedatangannya. Marsi percaya Alberto cepat atau lambat akan datang ke rumahnya dalam keadaan sakit parah. Ia menduga Alberto akan datang dengan sebuah mobil. Ya ya, bukan lantaran Alberto dulu ia ketahui mengoleksi mobil mewah, tetapi lebih disebabkan sakitnya yang parah, tak bisa digendong apalagi dibonceng dengan sepeda motor.

Almustaj benar-benar telah merubah nasib Marsi dan Lusano, suaminya. Marsi yang dulu jualan gorengan di depan rumah dan Lusano yang jadi pedagang bakso keliling, kini tak pernah lagi dipusingkan dengan kebutuhan hidup. Sungguh, tak seorang pun menduga, nama Almustaj sebagai dukun cilik akan terkenal ke seluruh penjuru negeri.

Mulanya Marsi tidak percaya dengan mimpinya, di mana ia bertemu seorang nenek tua yang mengatakan bahwa anaknya memiliki kelebihan, bisa mengobati bermacam penyakit. Seingat Marsi mimpi itu pertama kali muncul ketika anaknya berumur empat puluh hari, dan telah terulang berkali-kali dalam tidur penuh kelelahan usai bercinta dengan Lusano.

Marsi tidak mempedulikan mimpi itu sampai Almustaj masuk sekolah dasar. Waktu itu mendadak Marsi diserang demam parah. Lusano sudah membawanya ke Bidan desa dan Puskesmas, tapi hanya menghabiskan uang saja. Sampai kemudian, suatu malam, di saat Lusano masih berkeliling dengan gerobak baksonya dan Almustaj sedang mengaji, seorang nenek asing bertandang ke rumah Marsi.

“Anakmu punya kelebihan, segala penyakit bisa diobatinya, kecuali penyakit ayahnya sendiri,” ujar nenek itu dengan suara rentanya.

Mendengar ayah Almustaj disebut-sebut, Marsi yang menemui tamu itu dengan berbalut selimut seketika menegakkan kepala. “Alberto?”

“Majikan tempatmu dulu bekerja. Kelak, ia akan datang ke rumah ini untuk berobat.”

Entah mengapa, Marsi membiarkan begitu saja nenek itu pulang tanpa kemudian bertanya asal-usul tentangnya; dari mana ia tahu Alberto, alasan apa yang membuatnya sangat percaya bahwa Almustaj bisa mengobati aneka penyakit. Lebih-lebih ketika Marsi melihat sebuah cincin tergeletak di atas meja. Astaga, cincin siapa ini? Ia melangkah ke luar rumah, berniat memanggil nenek yang barusan bertamu. Senyap. Nenek itu begitu cepat menghilang. Ketika Marsi mengamati cincin beramata batu hitam legan itu, yang ukuran lingkarnya lebih kecil dari jari kelingkingnya, ia segera teringat apa yang baru dikatakan nenek tadi. Dan seperti seorang yang mendapat wangsit, begitu Almustaj pulang dari mengaji, Marsi memakaikan cincin itu kepadanya.

“Beli di mana, Mak?”

Marsi tak menjawab.

“Sekarang, celupkan jari manismu itu ke sini,” suruh Marsi seraya menyodorkan sebuah gelas berisi air kendi. Marsi percaya dengan cara itu, energi kesaktian Almustaj dapat dikeluarkan.

Almustaj yang terbengong dan tak tahu maksud emaknya hanya menurut. Dan ajaib! Sesaaat setelah meminum air yang sudah dicelupi jari manis kiri Almustaj, tubuh Marsi menjadi segar, demamnya hilang.

Terkadang Marsi ingin mencari nenek itu untuk mengucapkan terimakasih. Tetapi di lain waktu ia ingin mencarinya untuk memarahi dan menjambak rambutnya yang kumal. Bagaimanapun, kedatangannya telah membuat Marsi terseret memasuki peristiwa-peristiwa masa silam yang gelap, sesuatu yang tak pernah Marsi inginkan.

Dulu, Marsi bekerja sebagai pembantu di Ibukota. Alberto, majikannya, diam-diam menjadikannya sebagai istri simpanan, di mana rumahnya sendiri dijadikan tempat Marsi disimpan. Sampai Marsi hamil, dan Alberto menuduhnya telah berzina dengan tukang kebun. Tukang kebun itu adalah Lusano, lelaki yang tinggal sekampung dengan Marsi yang kini telah serumah, menjadi suaminya yang sah.

Marsi telah menuturkan cerita itu pada Lusano, termasuk tentang janin yang ada dalam rahimnya, yang kelak diberi nama Almustaj. Dan Lusano, yang telah sejak lama menaruh hati pada Marsi, menerima kenyataan itu dengan dada sakit, menikmati malam pertamanya dengan Marsi dengan perasaan yang hambar bercampur dendam.

Bahwa kelak, sebagaimana dikatakan nenek asing itu, Alberto akan datang untuk berobat, Lusano telah mengetahuinya dari Warsi. Bukan hanya tahu, Lusano dan Marsi bahkan telah menyusun rencana menyambut kedatangan Alberto. Meski mereka berdua tidak bisa menebak-nebak, jenis penyakit seperti apa yang menyerang Alberto, dan bagaimana pula jalur ceritanya sehingga orang yang paling dimusuhinya itu berobat pada Almustaj.

“Sebaiknya kita pasang tarif,” ujar Lusano, ketika merencanakan penyambutan kedatangan Alberto yang entah kapan datangnya.

“Maksudmu?” tanggap Marsi.

“Rumah kita kian hari kian ramai saja. Disebabkan pengobatan sakti anakmu sangat murah, sungguh lebih murah dibanding kesehatan mereka. Apakah kamu pernah mengamati lebih jeli wajah-wajah dari para pasien yang datang?”

Marsi menggeleng.

“Jangan-jangan Alberto pernah datang ke rumah ini, tapi kita tidak tahu.”

“Kalau ia kesini pastilah aku dapat mencium bau busuknya.”

“Tapi bagaimanapun kita harus waspada. Dan harus segera pasang tarif pengobatan.”

“Tarif? Apa nanti kata para tetangga? Apa kata dunia? Kesaktian Almustaj anugrah Tuhan, tak patut diperjual-belikan.”

“Marsi, ilmu itu mahal.”

“Almustaj tak pernah sekolah di kedokteran.”

“Justru itu. Ilmu Almustaj melampaui para dokter, harusnya dibayar lebih mahal.”

Marsi terdiam sejenak. Lalu, “Terserahlah. Yang jelas, Alberto harus mati di tangan kita nanti.”

Sejak itulah, perlahan namun pasti orang-orang yang antri untuk mendapat kesembuhan dari dukun sakti Almustaj menjadi berkurang. Tetapi pundi-pundi yang mengalir dari pengobatan Almustaj justru membanjir. Lusano senang, sebab dengan sedikitnya pasien, maka ia bisa banyak istirahat sambil menikmati cerutunya. Sementara Marsi, senantiasa rusuh hatinya, menanti kedatangan Alberto yang tak jelas waktunya.



***

Istri dan tiga anak Alberto berdiri mengitari ranjang. Ditatapnya wajah Alberto yang pucat terkulai tak berdaya. Tubuh Alberto kaku, tak bisa bergerak, kecuali hanya bibirnya, itupun tak jelas untuk bicara. Sakit yang, menurut Dokter, menyerupai stroek parah, telah menyedot harta yang dikumpulkan Alberto dan keluarganya bertahun-tahun. Dua mobil, satu ruko, dan sepetak tanah kapling telah lenyap, sementara kesembuhan belum didapat. Sebelum semua harta habis dan tak ada pihak lain mau membantu, maka usaha pengobatan akan terus dilakukan, itulah tekad istri dan ketiga anak Alberto yang setia.

Setia? Betapa kesetiaan akan selalu diuji. Lihatlah, ketika keluarga Alberto sepakat hendak menjual sebuah villa untuk biaya berobat ke Singapura, seorang nenek dengan begitu tiba-tiba datang untuk merusak atau lebih tepatnya menguji kesetiaan mereka. Dua pintu kamar rumah sakit itu tertutup, entah dari pintu mana nenek itu masuk. Nenek itu seakan begitu saja ada di antara mereka. Istri dan anak-anak Alberto terkesiap, sedang Alberto sendiri cuma melirikkan matanya, berusaha menangkap wajah nenek itu. Wajah penuh keriput, dengan mata tajam dan rambut panjang keperakan. Belum sempat mereka menyanyakan apa maksud kedatangannya, si nenek sudah membuka mulutnya, mengatakan sesuatu yang mencengangkan mereka.

“Sakit Alberto bukan sakit biasa. Ia memiliki dosa besar dengan seorang pembantu yang dulu diusirnya. Ia hanya bisa disembuhkan oleh anak pembantu itu, yang juga adalah anaknya.”

Anak-anak Alberto saling pandang, lalu menatap lelaki berwajah pucat yang terbujur kaku di ranjang seakan meminta jawaban. Berbeda dengan istri Alberto yang menatap nanar, sedang menghakimi lelaki itu.

Alberto ingin muntab dan menendang nenek itu karena telah membocorkan rahasia besar yang selama ini berhasil ia sembunyikan. Tapi ia tak memiliki daya apa-apa kini. Untuk membela diri, dengan mengatakan pada anak-anaknya agar tidak mempercayai orang asing saja ia tak punya kemampuan. Harsa Laozy, dan Ujab, tak pernah bisa mempercayai nenek itu, sebab mereka baru beberapa bulan pulang dari luar negeri, tak sedikitpun mengetahui kalau ayahnya pernah mengusir seorang pembantu. Dan mereka, betapa telah diajari untuk tidak mudah percaya pada orang lain, terutama orang asing. Tapi istri Alberto?

“Lihatlah tingkahnya? Apa kalian masih mau merawat orang berkelakuan bejat seperti itu?”

Kembali anak-anak Alberto bertukar pandang. Sementara tatapan istri Alberto masih nanar menghujam wajah kuyu Alberto. Sejenak kemudian, istri Alberto menghambur keluar kamar dengan memabwa isak tangisnya. Menyusul kemudian dua anaknya yang lain.

“Kau? Masih setia untuk merawat ayahmu?”

“Persetan dengan dosa Ayah, jika ceritamu benar. Tugas anak adalah berbakti.”

Setelah memuj-muji kesetiaan Ujab pada ayahnya, Si Nenek kemudian menyarankan kepadanya untuk segera membawa ayahnya ke rumah Almustaj. “Kau pasti kenal dengan nama itu.”rajin baca Kau

“Ia sekarang sudah menjadi dukun sakti. Bacalah!” ujar si nenek seraya memberikan selembar koran.

Ujab segera meraihnya, diam sejenak untuk membacanya. Ketika mendongakkan kepala, bermaksud menanyakan sesuatu pada nenek itu, Ujab terkesiap. Aneh. Nenek itu sudah tak nampak lagi. Tadi nenek itu hadir tiba-tiba dalam ruangan itu, dan kini pergi begitu saja.

***

Yang paling berdebar, ketika ambunans yang membawa Alberto tiba di depan rumah Almustaj bukanlah Marsi atau Lusano, melainkan si nenek misterius. Betapa nenek itu seakan merasa berhak untuk turut campur dalam masalah ini. Mungkin ia jelmaan entah siapa yang memiliki dendam khusus pada Alberto, atau pada Marsi dan Lusano. Entahlah. Ia yang gaib, lihatlah, kini duduk mengangkang di atas pohon nangka yang tumbuh persis di depan rumah Almustaj, bagaikan seorang berdebar-debar menyaksikan drama yang disutradarainya sendiri.

Ujab membopong sendiri tubuh Alberto yang pura-pura pingsan. Dalam kepura-puraan itu Alberto berharap semoga Marsi tak lagi mengenalnya. Semenjak ia mengusir Marsi sepuluh tahun silam, ia tak tahu kabar apapun tentangnya. Ia memang pernah mendengar nama dukun cilik Almustaj, tapi tak pernah ia serius mengikuti berita takhayul semacam itu. Ia bahkan juga tidak tahu, kalau Marsi telah menikah dengan Lusano, lelaki yang kini menyambut kedatangannya di muka pintu.

Begitu melihat wajah lelaki yang nampak benar-benar tak sadar diri, Lusano menarik napas dalam-dalam. Akhirnya, tamu yang telah lama ditunggu-tunggu datang juga, pikirnya. Sesuai dengan rencana, Lusano menyuruh pasien itu untuk dibawa masuk ke bilik periksa. Sementara ia sendiri bergerak menuju dapur menemui Marsi. “Siapkan obat bagi lelaki yang tidak mungkin bisa disembuhkan oleh Almustaj,” katanya setengah berbisik.

Dengan sekejap Marsi bisa memahami maksud ucapan Lusano. “Alberto?” turun naik dadanya seperti ada ombak besar bergemuruh di dalamnya.

Lusano hanya menjawabnya dengan isyarat mata, yang artinya, “Siapa lagi. Cepatlah!” Marsi segera mengambil air dalam botol bekas minuman yang sudah ia campur dengan racun. Biasanya, setelah pasien keluar dari bilik periksa, Lusano telah menunggu di ruang tengah, tempat biasa digunakan untuk antri. Di depan meja, Lusano akan mengatakan berapa yang harus dibayar, dan menyerahkan sebotol air yang dipercaya mengandung khasiat. Sebotol air khusus untuk Alberto itulah yang kini sudah diambil Marsi dari dalam lemari. Tak lupa, Marsi juga menyelipkan sebilah pisau kecil di pinggangnya, untuk berjaga-jaga jika rencana yang telah ia susun tidak berjalan mulus.

Di saat Marsi memandang air dalam botol dengan wajah geram, Alberto telah memberanikan diri membuka mata ketika mendengar suara kecil Almustaj yang menanyakan sesuatu pada Ujab seputar sakit yang dideritanya. Sesaat, hanya sesaat saja Alberto membuka mata. Begitu mata Almustaj bergerak menatap wajahnya, Alberto cepat-cepat menutup bola matanya. Ia sekilas melihat, betapa anak itu mirip dengan wajahnya. Sesaat kemudian, air hangat meleleh dari sudut matanya yang terpejam.

“Mak, Emak, bantu Mustaj Mak!”

Untuk jenis sakit seperti yang diderita Alberto, biasanya tak cukup hanya dengan meminum air yang sudah dicelup dengan jari manis Almustaj. Tangan, wajah, dan kaki harus diusap dengan air yang sudah dicelupi jari manis Almustaj juga. Begitulah pengobatan biasa dilakukan.

“Mak!”

Berkali-kali dipanggil Marsi tak kunjung muncul.

“Tolong kamu bantu aku ya. Seka wajah, kaki, dan tangannya dengan air itu.” Perintah Almustaj pada Ujab, sembari menunjukkan ember yang terletak di bawah ranjang.

Di luar kamar, di luar tembok rumah itu, tepatnya di atas pohon nangka, si nenek misterius masih berdebar-debar menyaksikan dramanya. Begitu pula Lusano, yang diam-diam mengintip dari balik kelambu, hampir-hampir merasakan ketegangan yang sama sebagaimana dialami si nenek.

Ujab melakukan perintah Almustaj dengan tangah gemetaran. Sedangkan Alberto, terus membanjiri pipinya dengan air mata penyesalan yang mendalam. Ia berjanji akan mengakui kesalahannya dan bersedia untuk dihukum apapun jika diberi kesembuhan.

“Sekarang, coba gerakkan tangan kamu, Pak!”

Bapak? Ia memanggilku Bapak. Sungguh, Alberto kian merasa telah sangat berdosa.

“Coba gerakkan tanganmu, Bapak!”

Alberto mencoba menggerakkan tangannya. Dan bisa. Begitu pula kakinya. Ujab berteriak girang melihat perkembangan kesembuhan ayahnya. Sementara itu, Marsi yang sudah siap dengan sebotol racun yang rencananya akan diberikan kepada Alberto, melongo tak percaya ingin segera menyaksikan apa yang terjadi. Di luar, si nenek melolong tanpa seorang pun manusia bisa mendengar. Lusano bergerak menuju dapur, di ambang pintu nyaris ia bertubrukan dengan Marsi yang sudah menggenggam sebilah pisau. Melihat pisau di tangan Marsi, Lusano berusaha merebutnya.

“Kesembuhan tak ada artinya bagi lelaki semacam dia.” teriak Marsi, setelah berhasil mempertahankan pisau dari rebutan Lusano. Marsi melangkah mantap menuju bilik periksa. Saat itulah, si nenek di atas pohon nangka, mendadak tertawa-tawa, melesat menembus dinding-dinding rumah itu, sigap menelusup ke dada Marsi.

Wonosobo, April 2010

0 Response to "Dukun Cilik dan Nenek Misterius"