SUMUR



Jusuf AN
(Cerpen ini termuat dalam Jalan Menikung ke Bukit Timah, 
Antologi Cerpen Temu Sastra Indonesia II. Cerpen ini pernah pula memenangi lomba Cerpen yang diadakan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2005, yang kemudian membuat saya semangat menulis)

Tak ada yang berani melihat wajah Tuan Tata dengan mata telanjang. Manakala Tuan Tata keluar dari kediamannya yang berdiri kokoh dengan kayu jati, kami semua menunduk, bahkan ada yang sujud hingga jidatnya menyentuh batu berselimut debu. Kami hanya berani menatap sekelebat saja wajah Tuan Tata, secepat kilat di musim hujan, sehingga tidak bisa dengan jelas menggambarkan wajahnya dan hanya bisa menduga: tubuh tinggi besar, mata bulat nan hitam dan rambut mungkin beruban. Kami bisa menggambarkan wajah Tuan Tata seperti itu karena kami pernah melihat sepuas mata ketika awal kedatangannya, jauh sebelum kemarau panjang datang.

Baru kali ini suku kami mendapati musim tak menentu seperti ini. Kami merasa betapa hidup amat tersiksa dengan hanya meminum satu teguk air tiap hari. Hidup terasa redup, tak punya gairah apa-apa.

Dulu, suku kami adalah suku yang hijau. Tanah-tanah kami gembur dan subur, tancapin tiang bisa tumbuh bunga yang wangi dan mengundang ribuan kupu-kupu terbang riang. Tanah kami mengantongi humus dan air. Hanya satu dua meter menggalinya sudah pasti akan menyembur airnya. Tiap orang dari kami memelihara binatang ternak yang sehat dan gemuk. Tunggangan kami adalah kuda yang brigas, jika berlari bisa kencang bukan kepalang.

Kami sering menunggangi kuda-kuda kami sampai jauh. Kadang kami mendirikan tenda untuk beberapa hari di puncak gunung atau di tepi danau yang menyimpan wajah rembulan. Dan di sana kami berpesta, mengguling hasil buruan sambil tertawa dan berkidung tak ada putus.

Sepertinya, kami adalah suku yang paling bahagai di dunia. Siapapun bisa membangun rumah indah dari kayu-kayu jati, serta menghiasinya dengan marmer dan batu-batu mengkilat. Tiap hari kami bisa menyembelih ternak, memanen jagung, padi, dan sorgum.

Sampai suatu hari, ketika fajar perawan lingsir, ribuan belalang kembara menyerbu ladang-ladang kami. Suara belalang itu terdengar menderu, dan dalam waktu amat pendek sawah dan ladang kami menjadi rata dengan tanah. Kami hanya membiarkan saja rombongan belalang itu merampok ladang dan sawah kami, sebab kami punya sawah dan ladang yang amat luas, hampir seluas angkasa.
Kami mengira belalang-belalang itu tak akan datang lagi karena sudah mati kekenyangan. Namun anggapan kami ternyata keliru. Dua hari setelah itu, belalang kembara kembali menyerbu ladang kami. Hampir separuh dari sawah kami tak tersisa dimakannya.

"Belalang itu bukan belalang kembara. Ia adalah belalang tulah," kata salah seorang yang merupakan ketua suku kami dengan suara rentanya. Ia bilang bahwa belalang-belalang itu adalah titisan arwah nenek moyang kami yang marah. Kami pun percaya. Lalu, diajarkannya kami cara untuk mengusir belalang-belalang itu: kami mengadakan ritual sederhana, dengan mengambil sirih pinang yang kami masukan dalam air, lalu kami siramkan ke sawah dan sekitar rumah.

Dalam waktu dua minggu, belalang tulah itu tak lagi datang. Kami mengira bahwa belalang itu adalah tulah sungguhan. Tapi, sebulan kemudian milyaran belalang itu kembali menyerbu dan hanya menyisakan sepetak sawah. Oh, alangkah rakusnya belalang itu. Ketua kami seketika pingsan melihat kejadian itu. Tiba-tiba di sela-sela kebingungan kami, seorang anak muda dengan mata bulat dan gelap, dan bertubuh tegap datang. Ia membawa beberapa anak panah dan busurnya di punggung, pedang panjang di pinggang, dan menaiki kuda putih bersih yang tinggi dan besar. Pemuda itu begitu sopan dan rendah hati. "Saya Tata. Saya seorang mantan prajurit yang kini menjadi pengembara," katanya dengan suara lembut sambil membungkuk, memperkenalkan diri pada kami. "Bisakah saya menginap untuk beberapa hari di sini?"

Kami saling pandang sejenak, dan kemudian menjawab, "siapapun boleh tinggal di sini, kecuali seorang tirani." Pemuda itu hanya tersenyum seperti heran mendengar peraturan kami. Tapi memang seperti itulah peraturan suku kami. Suku kami memang punya seorang pemimpin, tapi tidak berkuasa penuh atas kami. Dalam setiap hal kami selalu membicarakannya bersama.

Tata kemudian tinggal di salah satu rumah penduduk. Ketika kami hendak pergi berburu kami mengajaknya. Tak disangka ia adalah seorang pemburu handal. Ia jauh cepat dari kami. Ia sanggup menaklukan seekor srigala jantan dalam waktu cepat. Anak panahnya selalu tepat mengenai sasaran, sekalipun sasaran itu bangau atau elang yang terbang. Terus terang kami segan dengan pemburu ulung. Dan kemudian kami berguru ilmu buru pada Tata.

Selain pintar berburu Tata juga seorang yang murah senyum. Dalam waktu dua purnama, ia menjadi teramat istimewa bagi kami. Ia begitu setia mendengar cerita-cerita kami. Telinganya lebar, selalu terbuka untuk mendengar kami bicara. Kami ceritakan padanya tentang suku kami yang besar dan hijau. Juga kami ceritakan keluh-kesah kami atas datangnya belalang-belalang tak diundang yang merampok tanaman kami.
"Mengapa kalian baru mengatakan?!" Di wajahnya seperti ada rasa kecewa karena kami baru ceritakan tentang belalang-belalang itu. "Belalang itu bukan tulah," sambungnya.

"Lantas?"

"Itu adalah belalang kembara biasa."
"Bagaimana cara mengusirnya agar tidak kembali datang?"
"Ada ramuannya." Lalu Tata menaiki kudanya dan hilang dihamparan ladang yang rata. Katanya ia hendak mencari ramuan yang ada di hutan dan tebing-tebing curam.

Kami menunggunya dengan beribu cemas. Sebab ladang kami tinggal satu petak dan jika belalang-belalang itu kembali datang, maka kami akan kehabisan bahan makanan.

Setengah purnama kemudian Tata datang dengan membawa tumbuh-tumbuhan yang telah ditumbuk. Ia menyuruh kami untuk mencampur dengan air dan menyiramkannya di pinggir sawah dan ladang kami. Ya, ya. Alangkah girangnya kami, karena rentang waktu dua tahun setelah itu tak ada lagi belalang menyerbu.
Tapi kemudian, pada suatu siang Tata pamitan pada kami untuk meneruskan pengembaraannya. Ia ingin kembali melintasi gunung-gunung, danau, teluk, rawa-rawa, dan samudra. Ia adalah petualang sejati. Seorang pemberani yang menjadikan rumahnya adalah perjalanan itu sendiri. Kami semua menunduk sedih, tak rela melepas kepergiannya. Kami merasa ingin terus bersamanya, sebab ia begitu istimewa bagi kami. Hingga akhirnya ia turun dari kudanya, lalu merangkul kami semua. Ia seperti tak tega meninggalkan wajah-wajah kami yang terlihat menjadi tua ketika mendengar kata pamitnya. Lantas setelah ketua kami meninggal, dan diadakan upacara pelepasan dengan meniup terompet dan manabur bunga, kami sepakat menjadikannya ketua baru suku kami.

"Hidup Tuan Tata."
"Hidup Tuan Tata."

Tuan Tata di arak dengan kereta kuda mengelilingi daerah kami. Dan malamnya, kami semua berpesta, merayakan kebahagiaan ini dengan menari dan bernyanyi sampai pagi. Kemudian kami membangunkannya rumah indah kokoh besar dari kayu jati. Kami membuatkan sumur yang besar dan dalam di belakang rumahnya. Dan kami berikan ia puluhan pengawal dan binatang ternak.

Beberapa tahun setelah itu kemalangan datang berupa kemarau panjang. Ranting-ranring terkulai, kehilangan daun-daunnya. Lalu, pohon-pohon kehilangan ranting-rantingnya. Dan kami kehilangan semua yang kami miliki. Sapi, kambing, unggas-unggas, mati menjemput rumput yang telah lebur selayak debu. Bayi-bayi kami mati karena air susu ibunya tak keluar lagi.

Kami telah menggali lebih dalam lagi sumur-sumur kami yang kering. Barangkali akan menemukan air dalam perut bumi. Tapi hanya kerikil dan batu-batu yang kami temukan membuat kami begitu kepayahan. Lalu, kami mengambil air di sungai yang jauh nun di seberang hutan. Sampai kemudian semua sungai yang dulu mengalir jernih hingga terlihat ikan-ikan berenang di dalamnya hanya menjadi dongeng yang bisa dikenang dengan kesedihan. Sungai itu kering seperti wajah-wajah kami dan mata kami yang tak menyimpan lagi air mata.
Sampai suatu kabar tersiar: sumur Tuan Tata masih menyembur airnya. Kami semua berbondong-bondong menuju ke sana dengan membawa apapun yang bisa menampung air. Oh, tak sia-sia rupanya kami menggali sumur besar dan dalam di belakang rumah Tuan Tata. Tapi sampai di sana, para pengawal Tuan Tata telah berbaris dengan wajah bengis. Menjegal kami.

"Tuan Tata tidak mengijinkan!" sergah mereka.
"Sumur ini kami yang buat, mengapa kami tidak boleh mengambilnya?!"
"Tuan Tata tidak mengijinkan!”
"Di mana Tuan Tata, biar kami yang bicara."

Dan salah seorang pengawal masuk ke dalam rumah, memanggil Tuan Tata.

"Boleh-boleh saja kalian mengambil air dalam sumur itu. Tapi tidak dalam waktu lama air itu akan habis jika kalian semua memakai sesukanya." Tuan Tata bicara dengan suara lantang di ambang pintu. Ia memakai baju kulit macan yang di rangkai dengan bulu singa dan sepatu kulit buaya. Di kepalanya terhias mahkota dengan sepasang tanduk bateng. Ia terlihat gagah dan perkasa dengan seragam kebesaran itu.

"Lantas, bagaimana baiknya?"

"Biar bisa terkendali, tiap kepala rumah akan saya beri tujuh batu kecil ini untuk satu minggu. " Tuan Tata menunjukkan batu kecil itu pada kami. "Jika kalian butuh air kalian bisa mengambilnya di sumur ini dengan memberikan batu ini pada pengawal."

Dibagikanlah batu kecil itu pada tiap-tiap kelapa rumah. Warna batu itu bermacam-macam. Ada yang mendapatkan warna merah, ungu, biru, dan ada pula yang hijau. Antik. Seumur hidup, baru pertama ini kami melihat batu yang diberikan Tuan Tata. Entah ia mendapatkan dari mana batu-batu itu.
***
Setiap pagi kami membuat antrian panjang untuk mendapatkan air dari sumur Tuan Tata. Kami tukarkan batu-batu indah yang diberikan Tuan tata dengan air. Sayangnya, air yang kami dapatkan terlampau sedikit. Jangankan untuk mandi, kerongkongan kami saja seperti tak basah: hanya seteguk. "Air itu akan terus mengalir, Tuan Tata. Biarkan kami mengambil sesuai kebutuhan," usul kami. Tapi ia malah pergi setelah membentak kami dengan suara geram. Suara yang jauh beda dengan Tata muda yang pertama kali kami temui.

Seorang tirani tak pantas hidup di tanah ini. Kami semua berkumpul untuk melawan kesewanang-wenangan Tuan Tata. Tapi kami lemah tak berdaya karena kurang cairan dalam tubuh. Dengan mudah kami bisa dikalahkan oleh pengawal-pengawal setia Tuan Tata. Dan perlawanan kami justru membuahkan kemarahan Tuan Tata. Ia selayak singa yang bisa menerkam siapa saja yang berani protes atas kebijakannya. Bahkan jika ada yang ketahuan menatapnya lama-lama ia bisa menyeret dan menyabet kami dengan pedangnya hingga tubuh terpotong menjadi dua.

Kami hanya berani menatap sekelebat saja wajah Tuan Tata, secepat kilat di musim hujan yang kami rindukan. Sehingga tidak bisa dengan jelas menggambarkan wajahnya sekarang dan hanya bisa menduga: tubuh tinggi besar, mata bulat nan hitam dan rambut mungkin telah beruban.

Tiap hari sudah dipastikan ada salah satu dari kami ditemukan mati dalam selimut. Kami tidak menggali lubang dan mengadakan upacara pelepasan kematian karena kami tak lagi punya kekuatan. Kami hanya membuang mayat-mayat saudara kami dalam jurang atau belakang rumah sambil berdoa, "semoga kau tak lagi kehausan di alam sana." Mereka yang mati adalah karena tidak bisa bertahan dengan cuaca alam. Sawah dan ladang kami tak lagi menghasilkan apa-apa. Sapi, kambing, kuda, dan unggas-unggas kami hampir tak tersisa, karena tiap hari kami sembelih untuk makan. Hanya ternak Tuan Tata sajalah yang masih bisa terawat sehat sebab kecukupan pakan dan minumnya.

Terhitung lima purnama ini kemarau garang meradang. Selama itu kami hanya mengandalkan sebuah sumur besar Tuan Tata yang tiap malam dijaga ketat oleh para pengawal bertubuh kekar, memegang tombak dan pedang. Pernah ada salah seorang dari kami berniat diam-diam mengambil air dalam sumur Tuan Tata karena saking hausnya. Tapi caranya itu justru mempercepat ajalnya. Ia tertangkap lalu, dicabik-cabik dengan tombak dan dilempar ke kandang singa piaraan Tuan Tata.

Ketika siang, matahari selalu congkak membakar bumi. Sedang jika malam, tak pernah sepi dengan bintang-bintang bergelantungan di langit berawan tipis. Bintang-bintang itu saling mengerdipkan matanya satu sama lain. Ada juga bintang yang riang berlompatan. Bintang-bintang itu seperti menghina kami yang bau apak, mengejek tubuh kami yang kotor dan kerongkongan kami yang kering kerontang. Gemuruh angin menjelma bangsat bergentayangan, membuat kami semakin mengencangkan selimut bulu domba sambil meringkuk seperti kucing, menunggu ajal datang menjemput. Kami semakin gamang untuk hidup lebih lama. Dan alam sepertinya juga merestui kematian kami.

Hinggs suatu hari, ketika matahari pagi masih redup tertutup kabut, para pengawal penjaga sumur mendengar suara dari dalam sumur. "Tata…Tata, kemarilah!" Suara itu menggaung dari dalam sumur. Terdengar seperti suara perempuan. Ah, tak ada lagi kaum perempuan hidup di suku kami.
Pengawal sumur memanggil Tuan Tata.
"He, siapa kau?!" Tuan Tata terheran-tehan dengan suara aneh itu, lalu ia mendekat. Tuan Tata lelaki pemberani. Ia berdiri di tepi lubang sumur yang besar, dalam, dan gelap. Sementara Kami tengah mengantri untuk mengambil jatah air dengan tubuh gontai seakan bisa terbang jika angin besar datang.

"He, siapa kau?!"

"Akulah air yang akan terus membasahi kerongkonganmu." Suara itu lembut dan merdu seperti merayu.

Maka, disuruhnya pengawal untuk mengambil tangga yang terbuat dari bambu yang disambung-sambung hingga sangat panjang. Salah satu pengawal turun untuk melihat ujud suara misterius itu. Namun setelah lama ditunggu pengawal itu tidak kembali naik.

"Tuan Tata, kemarilah! ada air yang nikmat sekali di sini." Suara pengawal terdengar dari dalam sumur.
Tuan tata sama sekali tidak percaya dengan rayuannya. Dan disuruhnya lagi satu pengawal untuk turun dan membuktikan keadaan di bawah sumur. Namun, pengawal itu juga tidak kembali naik. "Di sini nikmat sekali Tuan Tata," pengawal yang ada dalam sumur meruyu Tuan Tata untuk turun langsung melihatnya. Tapi Tuan tata masih tak percaya. Dan disuruhnya lagi pengawal untuk turun ke dalam sumur. Tapi pengawal itu sama saja. Sampai semua pengawal Tuan Tata tak tersisa, baru Tuan Tata turun ke dalam sumur itu.

Kami semua yang keheranan lalu mendekat ke bibir sumur. Kami melongok ke bawah: hening dan gelap yang mengakap. Dalam kehausan yang teramat dalam kami semakin penasaran. Sampai lama kami menunggu, Tuan Tata dan pengawalnya tidak juga keluar dari sumur itu. "Tuan Tata…" kami memanggilnya dengan suara lemah. Tapi senyap adalah jawabannya. Lalu kami melempar batu tanggung ke dalam sumur besar nan dalam itu dan mendengarkan bunyi yang ditimbulkannya. "Pluk." Kami saling pandang. Bunyi itu seperti menandakan bahwa di dalam sana tidak ada orang, sebab apabila ada orang pasti bunyinya akan "buk" karena mengenai tubuh, atau "thak" kalau kena kepala. Kami mengulanginya lagi, dan bunyi batu itu tetap sama. Akh, kami tak sempat memikirkan apa yang terjadi di dasar sana. Kami semua langsung menimba air dalam sumur dan menenggak sepuas-puasnya. Kami siramkan air itu ke tubuh kami yang kering dan kotor. Kami bisa tertawa saat ini. Wajah-wajah kami kembali bercahaya. Tapi kemudian, bibir kami mendadak mengatup ketika tanpa kami sadari tali yang terbuat dari serat-serat akar yang digunakan untuk menimba air tak lagi membawa air. Airnya habis? Pertanyaan itulah yang membuat kami teramat panik.

"Kita mesti meninggalkan daerah ini," kata salah seorang dari kami.
"Kemana?"
"Kemanapun hingga menemukan air?"
"Tidak, tanah ini penuh kenangan!"
"Pilih kenangan atau mati kehausan?"

Lalu, kami yang berjumlah ratusan mengambil semua ternak-ternak Tuan Tata: kuda, sapi, kerbau, kambing dan unggas-unggasnya. Entahlah, kami tak tahu lagi nasib Tuan Tata dan pengawalnya yang tidak keluar lagi dari dalam sumur itu. Jikapun ia mati, tentu tidak mati kehausan seperti saudara-saudara kami. Ia orang aneh dan mati pun dengan peristiwa aneh pula.

Kami pergi dengan membawa apa-apa yang menurut kami berharga. Kami melintasi hutan-hutan yang mati serta stepa yang sepi, menyebrang danau dan rawa yang telah menjadi hamparan tanah pecah-pecah.
Entah kemana dan sampai kapan kami akan berjalan. Ketika malam datang kami mendirikan tenda dan meyembelih binatang-binatang yang kami bawa, lalu meminum darahnya. Darah, ya, hanya darah yang bisa buat tenggorokan kami sedikit segar selain air kencing kami sendiri yang hanya beberapa tetes saja. Tubuh dan pakaian, kami biarkan kumal. Rambut kami berwarna coklat dan menjijikan.

Sampai berminggu-minggu kami melakukan perjalanan ini. Beberapa orang dari kami mati dan kami hanya membiarkan mayatnya tergeletak di jalan-jalan. Semakin jauh langkah kami semakin berkurang jumlah kami. Kami yang masih bertahan hidup adalah kami yang memiliki kaki kuat dan semangat meminum darah.

Yogyakarta, Okt 2005-Feb 2006

0 Response to "SUMUR"