Menggairahkan Iklim Kesenian Di Daerah


Oleh Jusuf AN
 
Malam itu (10/11/2012) Pendopo Bupati Wonosobo benar-benar semarak. Bukan disebabkan sang Bupati sedang mantu, melainkan karena pada malam itu Wonosobo kedatangan tamu yang tidak biasa, yakni kelompok Teater Lingkar dari Semarang.
Bagi penulis dan ratusan masyarakat Wonosobo yang hadir malam itu, menyaksikan pentas teater Lingkar adalah sesuatu yang luar biasa. Selain bisa belajar dari pentas yang dibawakan, kita juga bisa ngangsu kawruh dari perjalanan panjang kelompok teater paling sepuh di Jawa Tengah tersebut.
Ketekukan, kesabaran, dan kesetiaan hidup berkesenian kelompok Teater Lingkar jelas menjadi pemantik semangat bagi para pegiat seni di Wonosobo. Betapa tidak, meski tumbuh di sebuah perkampungan di Semarang dengan anggota yang heterogen (PNS, Pengusaha, Guru, Mahasiswa, dll) tetapi Teater Lingkar bisa tetap eksist hingga 32 tahun dan telah memproduksi 129 pentas. Jarang kita temui kelompok teater yang bisa eksist demikian lama seperti teater Lingkar ini. Kalaupun ada, itu hanya terdapat di ‘pusat’, seperti Teater Koma (N. Riantiarno), Mandiri (Putu Wijaya), Ketjil (Arifin C Noor) —sekadar menyebut beberapa.
Di Wonosobo sendiri terdapat lebih dari 10 kelompok teater, diantara yang cukup eksist adalah Teater Banyu (Unsiq), Teater Dahsyat (SMA Takhasus Kalibeber), dan Teater Ongklok (SMA N 1 Wonosobo). Namun begitu, kiprah kelompok-kelompok teater tersebut masih kurang terdengar dan cenderung terkesan mengalami kelesuan.
Upaya untuk menggairahkan iklim berkesenian, khususnya teater, memang tidak semudah membalik telapak tangan. Sayangnya, banyak orang, termasuk pelaku seni itu sendiri, berpangku tangan dengan keadaan, seolah-olah itu memang sudah menjadi suratan Tuhan.
Sebagian kalangan ada yang menuding bahwa faktor kelesuan berkesenian di daerah disebabkan oleh tidak adanya gedung kesenian. Benarkah demikian? Gedung kesenian memang penting untuk diadakan sebagai pusat berbagai kegiatan seni. Tetapi terdapatnya gedung kesenian di sebuah daerah tidak menjamin kesenian di sebuah daerah tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik. Barangkali, apa yang pernah ditulis Djawahir Muhammad (SM, 8/9/12) tentang Gedung Kesenian Jateng yang telah menghabiskan anggaran 7 miliar tetapi tak dimanfaatkan dengan baik bisa kita jadikan bahan renungan.

Arisan Budaya

Salah satu kiat untuk menggairahkan dunia kesenian bisa ditempuh dengan cara mengadakan “arisan budaya”. Istilah arisan budaya pertama kali penulis dengar dari salah seorang pegiat seni dari Trenggalek, Jawa Timur, dan kembali mengemuka dalam obrolan seusai pentas Teater Lingkar.
            Kita paham, salah satu kendala yang sering dijumpai di daerah adalah minimnya pengunjung ketika sebuah perhelatan seni digelar. Hal ini disebabkan, karena tidak adanya jalinan yang kuat antara sesama komunitas seni. Dengan arisan budaya inilah diharapkan terjadi komunikasi yang liat antar komunitas seni, selain juga bisa memunculkan gesekan kratif yang menyulut produktifitas dalam berkarya.
Dalam teater misalnya, arisan budaya bisa dilakukan dengan penggiliran jatah pentas. Bagi kelompok yang kebetulan mendapat giliran arisan, maka mesti mengadakan pentas. Sementara kelompok yang lain wajib membeli tiket pertunjukan. Jika terdapat 10 kelompok teater di sebuah daerah, dan masing-masing kelompok membeli 10 tiket, maka minimal ada 100 tiket yang terjual.
“Gairah berkesenian akan bisa hidup jika orang-orang seni berusaha menghidupinya.” Demikian disampaikan Maston, pendiri Tater Lingkar, seusai pentas lakon Orang Kasar atawa Penagih Oetang karya Anton Chekov di Pendopo Wonosobo. Barangkali ungkapan tersebut bisa dibenarkan. Dan karenanya, untuk menggairahkan kesenian di daerah tidaklah tepat jika harus menunggu adanya gedung kesenian atau gerak dari Dinas Pariwisata dan Kebudayan yang lemot; meski tetap, pemerintah harus turut bertanggung jawab.

0 Response to "Menggairahkan Iklim Kesenian Di Daerah"