Oleh Jusuf AN
Malam itu (10/11/2012)
Pendopo Bupati Wonosobo benar-benar semarak. Bukan disebabkan sang Bupati
sedang mantu, melainkan karena pada malam itu Wonosobo kedatangan tamu
yang tidak biasa, yakni kelompok Teater Lingkar dari Semarang.
Bagi penulis dan ratusan masyarakat
Wonosobo yang hadir malam itu, menyaksikan pentas teater Lingkar adalah sesuatu
yang luar biasa. Selain bisa belajar dari pentas yang dibawakan, kita juga bisa
ngangsu kawruh dari perjalanan panjang kelompok teater paling sepuh di
Jawa Tengah tersebut.
Di Wonosobo sendiri terdapat
lebih dari 10 kelompok teater, diantara yang cukup eksist adalah Teater Banyu
(Unsiq), Teater Dahsyat (SMA Takhasus Kalibeber), dan Teater Ongklok (SMA N 1
Wonosobo). Namun begitu, kiprah kelompok-kelompok teater tersebut masih kurang terdengar
dan cenderung terkesan mengalami kelesuan.
Upaya untuk menggairahkan iklim
berkesenian, khususnya teater, memang tidak semudah membalik telapak tangan.
Sayangnya, banyak orang, termasuk pelaku seni itu sendiri, berpangku tangan
dengan keadaan, seolah-olah itu memang sudah menjadi suratan Tuhan.
Sebagian kalangan ada yang menuding
bahwa faktor kelesuan berkesenian di daerah disebabkan oleh tidak adanya gedung
kesenian. Benarkah demikian? Gedung kesenian memang penting untuk diadakan
sebagai pusat berbagai kegiatan seni. Tetapi terdapatnya gedung kesenian di sebuah
daerah tidak menjamin kesenian di sebuah daerah tersebut tumbuh dan berkembang
dengan baik. Barangkali, apa yang pernah ditulis Djawahir Muhammad (SM, 8/9/12)
tentang Gedung Kesenian Jateng yang telah menghabiskan anggaran 7 miliar tetapi
tak dimanfaatkan dengan baik bisa kita jadikan bahan renungan.
Arisan Budaya
Salah satu kiat untuk
menggairahkan dunia kesenian bisa ditempuh dengan cara mengadakan “arisan
budaya”. Istilah arisan budaya pertama kali penulis dengar dari salah seorang
pegiat seni dari Trenggalek, Jawa Timur, dan kembali mengemuka dalam obrolan
seusai pentas Teater Lingkar.
Kita
paham, salah satu kendala yang sering dijumpai di daerah adalah minimnya
pengunjung ketika sebuah perhelatan seni digelar. Hal ini disebabkan, karena
tidak adanya jalinan yang kuat antara sesama komunitas seni. Dengan arisan
budaya inilah diharapkan terjadi komunikasi yang liat antar komunitas seni,
selain juga bisa memunculkan gesekan kratif yang menyulut produktifitas dalam
berkarya.
Dalam teater misalnya, arisan
budaya bisa dilakukan dengan penggiliran jatah pentas. Bagi kelompok yang
kebetulan mendapat giliran arisan, maka mesti mengadakan pentas. Sementara
kelompok yang lain wajib membeli tiket pertunjukan. Jika terdapat 10 kelompok teater
di sebuah daerah, dan masing-masing kelompok membeli 10 tiket, maka minimal ada
100 tiket yang terjual.
“Gairah berkesenian akan
bisa hidup jika orang-orang seni berusaha menghidupinya.” Demikian disampaikan Maston,
pendiri Tater Lingkar, seusai pentas lakon Orang Kasar atawa Penagih
Oetang karya Anton Chekov di Pendopo Wonosobo. Barangkali ungkapan tersebut
bisa dibenarkan. Dan karenanya, untuk menggairahkan kesenian di daerah tidaklah
tepat jika harus menunggu adanya gedung kesenian atau gerak dari Dinas
Pariwisata dan Kebudayan yang lemot; meski tetap, pemerintah harus turut
bertanggung jawab.
0 Response to "Menggairahkan Iklim Kesenian Di Daerah"
Posting Komentar