Dimuat di Majalah Sastra Horison, April 2006
APA lagi yang kau takutkan, Madun? Berangkatlah, temui Arina di taman!
Ia telah menunggumu. Mengapa kau masih duduk termangu? Tak usahlah takut pada
Liana, istrimu. Ia menunggu jemputanmu pukul sembilan nanti, ketika toko kain
tempatnya kerja tutup. Dan kau masih punya waktu dua jam. Yakinlah kalau Liana
tak akan tahu ikhwal Arina.
Shalat isya nanti
saja, Madun. Setelah semua urusanmu selesai (aku berharap kau malah
melupakannya saja). Berangkatlah sekarang! Nah, begitu.
Setelah sekian lama
aku kewalahan menyusup di hatimu, akhirnya, berhasil juga kutemukan celahnya.
Sebuah celah yang dulunya teramat kecil, yang ada dengan sendirinya akibat ulah
sepasang matamu.
"Indah benar mata
perempuan itu!" Waktu itu kau terpukau memandang sepasang bola mata Arina
saat lampu merah membuatmu menunggu. Kau tak tahu bahwa aku telah menyelinap ke
dalam mata Arina. Aku balas memandangmu. Ih, senangnya, ketika kau melempar
senyum pada Arina. Aku yakin Arina menjadi lebih cantik dalam pandanganmu
karena kehadirku di matanya.
Ketika lampu menyala
hijau kau membuntuti Arina sampai di toko sepatu. Aku tahu kau ingin kenal
dengan Arina bukan? Makanya, aku sengaja masuk dalam hati Arina—karena lebih
mudah ketimbang masuk dalam hatimu—agar ia (Arina sebenarnya perempuan lugu dan
pemalu) menjadi luluh padamu. Kau mendekatinya, kemudian melempar tanya,
"lagi cari sepatu nih?"
"Iya, Mas,
kira-kira yang cocok mana ya?" Arina merespon dengan tingkah genit setelah
terlebih dulu aku menyelinap dalam bibinya. Lantas kau bertukar nama dengannya.
Dan kau yang tadi pagi baru menggambil gaji mencoba merayunya dengan membayar
sepatu pilihan Arina di kasir.
Aku pasti tertawa jika
teringat semua itu, Madun. Sebab dendamku padamu masih menyala, dan akan terus
menyala. Tak bisa aku lupakan saat-saat terbakar oleh dzikir yang diajarkan
ayahmu: istighfar, tasbih, tahmid, shalawat, dan tahlil. Semua bacaan itu kau
lafalkan masih-masing seratus kali tiap pagi dan petang. Membuat benteng hatimu
semakin tebal hingga aku kelimpungan menembusnya.
Padahal dulu, waktu
kau masih pacaran dengan Liana, kau selalu terbuka mendengar semua bisikan
busukku. Ketika kalian tengah berduaan di pagar jembatan, aku bisa menjelma
menjadi sejuta, lalu mengepung kau dan Liana. Waktu itu bulan temaram. Dan
kalian terpukau memandannya. Aku meyakinkamu bahwa tak ada orang selain kau dan
Liana di tempat itu. Maka, kau pun percaya. Mulanya, kau membelai tangan Liana,
meremas, lalu kau cium keningnya mesra. Liana menyangka kau menciumnya dengan
cinta, Madun. Padahal itulah berahi yang aku cipta.
Masih juga kuingatan,
ketika suatu senja kau dan Liana bercumbu di kuburan China yang sepi, dipayungi
langit warna oranye. Di pelataran salah satu makam kau berbisik lirih bersama
semilir angin yang mengibas rambut Liana, hingga nampak kulit lehernya yang
kuning langsat. "Aku tak bisa membahasakan besarnya cintaku padamu hanya
dengan kata-kata, Liana." Serentak aku menyusup dalam hati Liana untuk
mempercayai bualanmu. Lantas kalian pun saling membelai rambut, berciuman,
kemudian rebah dan berguling-guling di rerumputan hijau.
Setiap desahmu berarti
kebahagiaan tak terkira bagiku. Maka, kupacu berahimu terus kupacu. Tak sabar
aku menunggu saat-saat paling istimewa itu. Saat di mana tubuhmu menyatu dengan
tubuh Liana. "Ayolah, Madun! Bahasakan cintamu dengan kelaminmu!"
Lembut aku berbisik. Tapi, sialnya kau tersadar sebelum menyelam ke percintaan
yang paling dalam. Kau tiba-tiba teringat kejadian tragis sepasang kekasih yang
mati bunuh diri dengan tubuh telanjang dan kelamin saling mengunci, karena
mereka bersenggama di kuburan itu.
Tapi aku tak patah
semangat. Di lain waktu, ketika kau tengah jenuh dengan rutinitas kuliahmu, aku
membisikimu: "Pergilah keluar, Madun! Carilah anggur. Dan jangan lupa
ajaklah Liana." Tapi kau hanya
keluar memenui Liana tanpa mau membeli anggur. Ketahuilah, Madun. Kebanyakan
manusia dengan senang hari mau menjadi kekasihku. Mereka semua bahagia
bersamaku. Tapi kau?
"Lamarkanlah
Liana untukku, Bapak!" Ketika kau mengatakan itu pada bapakmu berkali-kali
aku mengumpat. Kau masih kuliah, Madun, bisikku. Kau tak boleh menikah. Tak
boleh! Akan dikasih makan apa Liana? Tariklah kembali ucapanmu! Namun, kau abai
dengan bisikanku.
"Kau
sungguh-sungguh dengan ucapanmu?" tanya bapakmu, Kiai surau yang keningnya
penuh kerut, dengan suara parau.
"Sungguh, Bapak.
Aku…"
Cergas aku melesat
menuju dapur, menemui ibumu yang tengah mendadar telor. Sebab aku tahu wanita
paruh baya itu ingin kau menikah setelah merampungkan kuliah. Kutajamkan pendengarannya,
hingga akhirnya ia mendengar pecakapan kau dan bapakmu di ruang tengah, lalu
menghampiri.
"Bapak malah
senang kau berterus terang, sebab Bapak tahu…"
"Tapi Emak
tidak!" Kau dan bapakmu kaget, serentak memandang sumber suara yang muncul
tiba-tiba. "Kau mesti menyelesaikan kuliah dulu, baru setelah itu
menikah," sambung emakmu.
Tapi bapakmu pandai
bicara dengan peluru dalilnya. Dan anehnya, emakmu menjadi setuju. Sungguh, tak
bisa aku lupakan ketika kedua orang tuamu datang melamar Liana untukmu. Padahal
paling lambat, satu minggu lagi, aku yakin kau akan masuk dalam lorong gelapku
yang paling hitam. Aku telah merencanakan semua itu, tepat dihari ulang
tahunmu: Liana datang padamu tanpa membawakan kado. Saat itulah aku akan
membisikimu untuk meminta kado yang telah Liana punya. Tubuhnya yang sintal
itu, tentunya. Sebab aku tahu kau masih penasaran dengan adegan film blue yang
sering kau tonton bukan? Tapi, semua rencanaku hancur. Bedebah! Tepat di hari
ulang tahunmu kau sah menikah dengan Liana. Ciumanmu pada Liana membuatku
semakin terkutuk. Senggamamu saban malam Jumat selalu menghanguskanku.
Kau boleh bangga
karena Liana telah sah menjadi isterimu dan mengejekku dalam dzikir pagi dan
petang itu. Tapi sekarang aku telah punya pengganti Liana.
Sebulan sudah tanpa
sepengetahuan Liana kau menjalin hubungan gelap dengan Arina, perempuan bermata
cantik itu. Kau sungguh menikmati percintaan dalam situasi tegang, dan akan
selalu bangga karena berhasil mengatur waktu. Meski kadang kulihat kau mengeluh
pada tuhanmu, bingung bagaimana caranya keluar dari perangkapku. Ah, kau selalu
sadar jika ini perangkapku, Madun. Brengsek! Kau lelaki sungguh peka dengan
tipu daya.
"Bibir Arina
sia-sia kau campakkan, Madun!" bisikku—yang telah menjelma menjadi
sejuta—di telinga Madun yang sekarang ada dalam kamar losmen dekat taman
bersama Arina. "Matikan lampu yang terang itu, Madun. Singkaplah gorden
dan biarlah cahaya rembulan meremangi kamar ini."
Madun hanya menunduk.
Bangsat! Lagi-lagi kau sadar jika aku telah membisikimu. Kau memandang detik
jam tergantung di atas pintu terus berputar. Aku tak betah dengan keadaan
seperti itu, lantas mengepung Arina.
"Bukalah sedikit
rok hitammu, Arina. Bukalah!" bisikku. Betisnya yang putih bersih
ditumbuhi bulu-bulu tipis aku yakin akan sangat menggodamu. Tapi Arina teramat
lugu. Ia malu melakukannya.
Kau masih punya waktu
satu jam, Madun. Isterimu akan curiga jika kau terlambat menjemputnya. Ia punya
mata batin yang amat tajam. Aku tak ingin kau terlambat menjemput karena akan membuat
Liana curiga. Tataplah dada Arina! Ayo, rabalah! Dada itu tak dipunyai oleh
isterimu. Yakinlah bahwa Arina tak akan menolak. Ia hanya malu saja untuk
mengawalinya. Ia sebenarnya juga ingin merasakan kenikmatan itu.
"Arina, apa kau
tak takut aku membawa ke kamar ini?" tanyamu gugup.
"Tidak, Mas. Aku
justru merasa tenang ada di dekat Mas," jawab Arina malu-malu sambil
menggamit sprei kasur.
"Tataplah lelaki
di sampingmu, Arina! Jangan menunduk begitu. Tataplah Arina, Madun! Tak ada
yang patut kau takutkan," bisikku lagi. Jika kalian saling tatap, maka
saat itulah aku akan akan menggetarkan hati kalian. Dan kalian berdua pasti
akan menganggapnya getaran asmara. Asmara yang kata kalian anugrah Sang
Pencipta.
Oh, ternyata tak
semudah yang kubayangkan. Ketika kau mendongak, Arina kebetulan menunduk. Dan
ketika Arina telah berani menatap, kau telah rebah sembari menjambak-jambak
rambutnya sendiri.
"Mas kenapa?
Sakit ya?"
"Cuma sedikit
pusing..."
"Kalau begitu
kita keluar beli aspirin."
Kau dan Arina lantas
keluar kamar. Aku membuntutinya. Di apotik, kau kubisiki untuk membeli kondom,
tapi kau tak mau. Dari apotik itu kau dan Arina langsung kembali ke kamar
losmen.
Sementara detik kian
cepat berputar. Andai detik jam itu punya hati, tentu aku akan membujuk untuk
memperlambat langkahnya.
"Arina, aku mau
keluar sebentar."
"Untuk apa?"
"Tadi kita lupa
beli makanan."
Arina diam. Aku telah
membuatnya percaya dengan kebohonganmu, Madun. Sebab aku tahu kau hendak
menjemput Liana.
AKU terbang, melesat ke pasar, hinggap di
gumpalan awan jauh di atas atap pertokoan. Jalanan akan macet dan kau pasti
akan terlambat menjemput Liana. Di toko kain seberang jalan itu, aku melihat
Liana tengah mengukur kain dengan ceraka. Ia bekerja menjadi pelayan karena
kerjamu sebagai guru bantu tak mencukupi, Madun. Tapi, seberapa besar cinta
Liana padamu aku tak peduli. Tak akan pernah aku ijinkan Liana tahu hubunganmu
dengan Arina. Tenanglah, aku akan terus melindungimu dari kejelian mata
batinnya.
Benar tebakkanku.
Setelah toko tempatnya kerja tutup, Liana menunggumu di bawah lampu pinggir
jalan. Ia hentakkan kakinya di trotoar karena kesal menunggumu. Saat itulah
aku, dengan susah payah, menyusup dalam hatinya. Aku meyakinkannya bahwa kau
terperangkap macet, dan tak mungkin kau terlambat karena disengaja, apalagi
karena seorang perempuan lain. Lalu setengah jam kemudian kau datang.
"Jalanan macet,
Liana," ucapmu dengan memasang wajah penuh kebimbangan. Liana bukan
perempuan sembarangan, Madun. Hampir-hampir ia tahu guratan dusta di wajahmu
jika aku tidak cepat-cepat merabunkan matanya.
Dengan motor tua itu
kau membawa Liana pergi.
Dan aku terbang
melesat ke kamar losmen. Di sana aku melihat Arina tengah jenuh menunggumu.
"Tenanglah, Arina! Sebentar lagi Madun pasti datang. Sebab kaulah
perempuan satu-satunya yang ada di hatinya." Liana tersenyum mendengar
bisikanku. Saat layar TV menayangkan adegan mesum, mudah bagiku membawa
angannya terbang dalam pelukanmu. "Pejamkan matamu, Liana!" Liana
menurut. Semakin sempurna pelukanmu dalam alam khayalnya.
Sekarang aku cukup
tenang. Maka, aku kembali melesat menemuimu.
KULIHAT kau masih memboncengkan Liana
menyusuri jalan kota yang ramai. Di perempatan jalan kau terbayang wajah Arina.
Kau gelisah karena lampu merah menghadangmu. Kau takut Arina pergi dari losmen
itu karena jenuh menunggumu. Tidak, Madun. Arina masih setia menunggumu. Tapi
tak ada salahnya kau menarik gas motormu lebih kencang setelah lampu hijau
nanti.
Namun,
sesuatu kembali membuatku tercengang. Tak mungkin kau lupa arah menuju pulang.
Harusnya kau ambil jalan lurus, bukan berbelok ke kanan. Kau antarkan Liana
pulang dulu, lantas akan aku bantu mencarikan alasan busuk untuk menemui Arina,
yang bisa dipercaya istrimu.
"Mas,
kita mau kemana?" Seperti juga aku, Liana dibuat bingung oleh arah
tujuanmu. Kau pun seolah bingung menjawabnya. Liana menggoyang pundakmu sembari
menanyakan lagi arah tujuanmu.
"Ke
sebuah tempat," jawabmu pendek, dengan suara keras tapi terkacaukan
putaran angin dan bising mesin kendaraan.
"Iya.
Tapi mana? Mau apa?" lembut suara Liana masuk lewat telinga kananmu.
Roda
motormu terus berputar seperti waktu. Hingga akhirnya aku bisa menebak arah
tujuanmu. Sebab rute jalan yang tengah kau tuju sering sekali kau lalui. Dan
tebakanku benar terbukti manakala kau menjawab pertanyaan Liana.
"Losmen."
Kau benar-benar telah gila, Madun! Kau ingin membuka kebusukanmu sendiri?!
Mengapa lagi-lagi kau lakukan hal bodoh!
"Losmen? Tak
patut orang tak punya seperti kita hambur-hamburkan uang, Mas. Ranjang kita memang
tak seempuk losmen, tapi…," bentak Liana setelah aku menggerakkan lidahnya
dan memompa amarahnya. Dalam tubuhnya yang letih aku menjadi semakin mudah
merasukinya. Tapi aku yakin kau tak tahu jika itu adalah kata-kataku.
"Ada hal penting
yang mesti kita selesaikan, Liana," katamu dengan air muka yang tak bisa
dengan jelas aku gambarkan. Ada kebimbangan, bercampur cemas, ditaburi
kesedihan, dan cinta. Sementara hanya kesal dan kepanikan yang begitu besar aku
rasakan.
"Di rumah
memangnya tidak bisa?!" Hanya lewat Liana aku bisa membawamu berbelok arah
menuju rumah. Entah kenapa, hatimu benar-benar keras kali ini.
Dan kau tak peduli
dengan pertanyaan Liana. Maka, sebelum kau dan Liana sampai di losmen sebelah
taman itu, aku telah melesat menemui Arina. Aku sumpalkan bertumpuk-tumpuk
jenuh padanya. Aku sebar firasat bahwa telah terjadi sesuatu padamu di luar
sana. Agar ia menyusulmu. Ia pun menenteng tas kecilnya, pergi keluar kamar
dengan langkah gamang dan kecewa.
Sayangnya, terlebih
dulu kau telah sampai di halaman losmen. Liana tak mau kau ajak masuk, sebab
aku benar-benar telah menyatu dalam tubuhnya. Tapi kau menarik kuat lengannya,
membuat tubuh Liana mau tak mau ikut terseret.
Saat kau dan Liana
sampai di pintu keluar-masuk losmen Arina muncul dari dalam. Ia tertegak
melihatmu. Sedang kau mencoba tetap tenang. Masih menggengam lengan Liana, kau
jelaskan pada Arina, bahwa sesungguhnya kau telah beristri. Wajah Arina sontak
memerah. Ia berlari—menubruk pundak kirimu ketika melintasi pintu—dengan menahan
isak. Dan kau, untuk apa kau mengejarnya, Madun?
"Biar kujelaskan
dulu semuanya, Liana." Kau telah berhasil menangkap tubuh Arina di pintu
gerbang, lalu mencoba menenangkan tangisnya. Arina terlanjur jatuh hati padamu,
hingga ia pun mau mendengarnya.
Bulan purnama sebesar
semangka masih bertengger menaburkan kelembutan. Duhai, alangkah indah andai
aku bisa menyaksikan kau dan Arina bermesraan dalam kamar remang cahayanya.
Tapi sepertinya tak ada harapanku lagi sekarang.
Di depan Arina kau
mencium kening istrimu dengan segenap cinta yang mekar dari dasar jiwamu.
Tahuhukah kau, Madun? Bahwa ketika kau menciumnya seperti itu, tubuhku
terbakar. Bergegas aku keluar dari dalam tubuh Liana, dan menggantung di awan,
menyaksikan ketololanmu, bangsat!
Kini, Liana yang kau
tatap itu adalah benar-benar istrimu. Ketika ia menanyakan siapa perempuan yang
mengenakan rok hitam, yang berdiri menunduk di depanmu, kau bersimpuh di tanah,
lalu menangis.
"Hentikan
tangismu, Madun!" teriakku melengking. Tubuhku merasa teriris-iris
mendengarnya. Dalam tangismu ada getar penyesalan, terasa amat menyakitkan
bagiku. Tiap tetes air matamu—dahsyatnya melebihi takbir—terkandung kegaiban
yang dengan tiba-tiba mengoyakkan tubuhku.
BULAN
purnama tiba-tiba hilang ditelan awan. Dari halaman losmen, aku masih sempat mendengar kau memohon pada
istrimu untuk mengijinkan menikahi Arina. Sungguh aku tidak bisa menerima semua
itu, Madun. Namun, tak ada lagi yang sanggup kuperbuat saat tangis sesalmu kian
keras dan air matamu menderas.
Sangat mungkin Liana
menyetujui permohonanmu. Sebab ia begitu menyayangimu dan mau berbuat apa saja
asal kau bahagia. Jika pun benar kau menikahi Arina, bukan berarti kau bebas
dari bisikku. Tidak, Madun! Tidak! Tak semudah itu aku menyerah. Aku akan terus
mengejarmu hingga berhasil membawamu dalam kobaran api di ujung hari.**
Yogyakarta, 2006
0 Response to "Malam di Sebuah Losmen"
Posting Komentar