Yasraf
Amir Pilliang menuliskan, puisi tidak saja merupakan sebuah sekumpulan
kata-kata, tetapi sekaligus sekumpulan tanda-tanda (signs). Dalam puisi
tidak mengomunikasikan sebuah pesan, tetapi lebih tepat "menandakan"
sebuah makna tertentu (meaning). Oleh karena itu puisi dapat dijelajahi
maknanya dengan alat bantu semiotika, pengetahuan tentang tanda. Selain itu
puisi bukanlah sebuah bentuk komunikasi atau informasi langsung melalui
ungkapan-ungkapan literer. Banyak makna yang diungkap di dalam puisi yang tidak
dapat disampaikan menggunakan perangat bahasa yang ada. Puisi memerlukan cara
pengungkapan sendiri. Maka muncullah metafora, yang menurut Karsten Harris
adalah "prinsip dari puisi, tantangan serta keagungannya."
Pertanyaannya,
seberapa banyakkah orang di negeri ini yang belajar tentang teori semiotika;
tanda puisi (poetic signs), tanda linguistik (linguistic signs);
semantik, juga metafora, untuk memahami kata demi kata di dalam puisi yang
merupakan "kendaraan makna" (vehiscle of meaning) sehingga
menemukan makna puisi (poetic meaning) ?
Kita
mesti sepakat bahwa cuma segelintir orang saja yang dapat menangkap makna sebagian
besar puisi kita, terutama untuk puisi-puisi modern yang bermunculan dewasa
ini. Dengan lain kata hanya sedikit puisi saja yang bisa dimengerti dan diambil
maknanya oleh kebanyakan masyarakat kita. Puisi terkesan menjadi karya seni
yang eksklusif, dan dijauhi banyak orang. Kenapa demikian?
Sebenarnya
persoalan semacam ini sudah lama diperbincangan, namun selalu mengambang dan kurang
mendapat respons yang signifikan. Maka, tulisan ini beramaksud mengangkat
kembali masalah yang belum selesai itu. Membuka kran kesadaran para sastrawan, baik
penyair atau kritikus, tentang masalah yang seolah-olah tenggelam dalam
keriuhan pergulatan estetika dan penciptaan-penciptaan karya yang eskperimental.
Tulisan ini tidak bermaksud memberikan penjelasan yang konprehensif, karena
untuk itu dibutuhkan penelitian yang mendasar dan menyeluruh.
Emha
Ainun Nadjib pernah mengungkap masalah ini dalam tulisannya bertajuk "Repot"
(1975). Secara umum Emha sepakat dalam obrolannya bersama Rendra dan Umar Kayam,
bahwa sektor-sektor kesenian (dalam tulisan ini baca: puisi) tidak perlu
membicarakan masalah itu (eksklufitas seni) lagi, sebab hanya merupakan
lingkaran setan yang tak berujung. Bagi Emha sebuah puisi tak perlu dimengerti
oleh rakyat banyak—dalam artian ia tak usah melewati pengertian secara keras—sepanjang
sedikitiknya ia mampu mencuri secara implisit dan menjebak dalam suatu
kehidupan puisi. Lebih jauh lagi Emha mengklasifikasikan masyarakat dari mulai
yang buta huruf, cendekiawan, awam, berperasaan tajam dan tumpul, IQ tinggi dan
"jongkok", dan golongan-golongan lainnya. Karenanya tak perlu kita kerepotan
memikirkan hal tersebut sehingga mengganggu kerja cipta kita, sebab yang
terpenting adalah bagaimana secara sentral berusaha mencapai titik intensitas
dari pertemuan atau kesatuan-kesatuan universal yang sesungguhnya ada, yang
memungkinkan sedikit "berakrab" (dengan pembaca).
Ya,
persoalah komunikasi (antara pencipta dan pembaca) puisi memang sangat rumit
dan membingungkan. Tetapi bukan berarti persoalan tersebut dibiarkan tanpa
wacana yang terang sehingga lambat-laun puisi semakin terperangkap di ruang eksklusif
dan dijauhi masyarakat.
Puisi
mestinya juga bisa dinikmati oleh orang banyak dan bukan hanya milik orang-orang
yang hidup di dunianya saja. Sebab pada awalnya puisi tercipta dengan tujuan yang
suci, yakni menggugah perasaan melalui kecerdasan bahasa, emosional, bahkan
sprititualitas penyairnya. Puisi juga mempunyai kegunaan membangkitkan empati,
dan dapat mendorong manusia ke dalam perenungan dan refleksi tentang kehidupan.
Tetapi tujuan itu akan mentah bersamaan dengan puisi yang menutup dirinya bagi
orang awam.
Kita
tahu, masyarakat adalah
sebuah entitas kolektif berkesadaran yang kompleks. Oleh sebab itu jika puisi
ingin berkontribusi padanya, maka perlu adanya kontribusi yang holistik dan
kompherensif; yang menyentuh seluruh dimensi kesadaran masyarakat, baik itu
spiritualitas, rasionalitas maupun emosionalitas. Menurut Culler, siapa pun yang
berkenalan dengan sastra dan tak terbiasa dengan konvensi-konvensi untuk
membaca karya sastra, akan merasa sangat kecewa bila harus membaca puisi.
Mungkin dia memahami saling hubungan yang aneh antara frasa-frasa itu. Dia
tidak mampu membacanya sebagai karya sastra kare atidak mempunyai
"kompetensi literrer" yang memungkinkan orang lain memahaminya.
Sehubungan dengan itu Darmanto Jatman mengatakan, kesenian harus merupakan
wujud komunikatif di mana manusia menemukan dirinya dan bukan sekedar karena
interpersonal, tapi impersonal karena ia merupakan wujud ekspresi dari
totalitas manusia yang seharusnya human dan memiliki istegritasnya.
Barangkali penjelasan dari Culler dan
Darmanto Jt tersebut dapat dijadikan salah satu pijakan bagi para penyair agar
puisinya lebih bisa dinikmati oleh masyarakat secara luas. Penyair semestinya memperhatikan
masyarakat sebagai penikmat puisi-puisinya. Sehingga ketika melakukan proses
penciptaan puisi penyair tidak kemudian persetan, masa bodoh dengan kompleksitas
masyarakat yang ada. Ingat, tidak semua orang tahu tentang puisi! Jadi
mempertimbangkan apakah puisi yang diciptakan bisa dimengerti oleh masyarakat
kebanyakan tetaplah penting dipertimbangkan.
Sebagian
penyair kontemporer, terutama penyair muda, masih terjebak pada metafora-metafora
gelap yang sering rancu dan membingungkan. Seringkali pembaca dari kalangan
sastra sendiri kebingungan memaknainya, apalagi untuk masyarakat awam sastra.
Bisa dibayangkan! Atau, jangan-jangan kecenderungan penyair muda yang demikian
itu merupakan sikap latah dari senior mereka?
Peran
Kritikus?
Dengan
seperangkat alat bedah ilmiah seorang kritikus sastra (baca: puisi) berusaha
menjembatani pembaca (khusunya yang awam) untuk bisa masuk dan memahami lebih
rinci puisi-puisi yang tadinya muram dan gelap sekalipun. Tetapi ketika
masyarakat sendiri telah terlanjur enggan membaca sebuah karya puisi apakah ia
punya keinginan untuk membaca kajian kritiknya?
Lain
dari pada itu terkadang kritikus malahan mempersempit makna sebuah puisi itu
sendiri. Pembaca seolah-olah terjebak dalam subyektifitas kritikus dan tidak
bisa berimajinasi menurut kemampuan dan keinginannya masing-masing. Metafora
"celana" Joko Pinurbo, atau metafora "tato" dalam
puisi-puisi Soni Farid Maulana menjadi miskin pemaknaan apabila sebelum membaca
sajak dua penyair tersebut, pembaca terlebih dulu membaca ulasan kritikus berkait
makna "celana" dan "tato". Meskipun kritikus sebenarnya hanya
sebagai penjembatan untuk memahami sebuah karya dan bukan "tuhan" pemegang
kebenaran. Tetapi pendapat yang dikemukakan kritikus—bagi pembaca awan apalagi—bisa
jadi akan mengganggu (imajinasi pembaca) dalam menikmati sebuah puisi.
Harapan
Semua Orang
Kita tentu saja sangat mengaharapkan
lahirnya puisi-puisi yang "sederhana" tetapi mengandung kedalaman
makna; tidak terlalu gelap, dan tidak terlampau personal. Bahwa sikap
penciptaan tanpa memperhatikan pembaca merupakan sikap yang ekstrim dan apatis,
saya sepakat. Tetapi penyair juga tidak boleh menganggap pembaca adalah orang
yang bodoh sehingga karyanya terkesan ringan dan mentah. Merangkai kata menjadi
puisi yang komunikatif dan bermakna luas, menggetarkan hati dan memberi
inspirasi pagi publik memang demikian berat. Tetapi penyair sejati tak akan
pernah menyerah bergelut dengan kata yang akan diserahkan kepada seluruh umat
manusia.
Salam
sastra!
0 Response to "PUISI SEMUA ORANG"
Posting Komentar