Fragmen Sebelah Mata Buta

Puisi Jusuf AN

Seekor camar terbang terbakar
ombak dan pasir saling desir
hujan angin dingin
menepikanku di pantai asin

Aku seperti tersirap
setiap kali memandang matahari
tenggelam di laut senyap
bermimpi bersama ikan-ikan sepi

Ingin kuarungi laut hingga barat
menjala bola merah itu
untuk kupasang di sebelah mataku


(oh, sebiji matamu
tergeletak di tikungan waktu)

Karena ombak terus menerus
berdebur di dadaku
menggerus segala ketidakmungkinan
yang menyerpih bagai pasir
maka, ingin pula kusunting laut
-hamparan biru hidup-
sebagai isteri
kutiduri sepanjang hari

Awang Garang namaku
lelaki mengarak hari-hari retak
siang-malam-pagi
di sanding kapal yang tak jadi

Selaksa peristiwa di malammalam buta
di mana nelayan tanpa peta
mengangkat sauh
menjeritkan subuh
melemparkanku ke jantung laut
ingatan masa kanak:
Ratusan piatu itu
khusuk menziarahi laut
di waktu pasang dan surut
memedihkan mataku.

Jutaan ikan
berenang di keruh danau
mata nelayan.
ombak serasa lengang
sejak para perompak menjadikan laut
sebagai maut sekaligus kuburan bagi nelayan.

Laut begitu pelit berikan kepulangan
bintang kehilangan
kerlip keberuntungan
bulan padam didekap awan.

Yang menganggap dirinya
paling tahu itulah aku
sebab sebelum kapal perang
siap dilayarkan
sudah lama aku menjadi nakhoda
bagi kapal-kapal yang berlayar dalam dada

(kapal-kapal harapan
diburu nafsu
melipat waktu
runcing kayu nusuk matamu)

Tertawalah
deraikan badai gurindam
kapalku tak akan karam, tak akan
jika pun karam
masih kupunya sampan

"Ini demi Sultan, demi Sultan"

Suara-suara tua itu
merontokkan sepasang daun telingaku
kenapa mereka, tujuh ajudan Sultan
betah mengantongi
batu-batu dalam kepala?

Tidak, ini demi impian!

"Kau pagi hari
sedang kami senja yang tua"

Pagi adalah anak suci malam
malam yang sehari-hari menelan kalian

Kubilang, kapal itu perlu
tiga macam kayu

"Tiga macam kayu?"

Satu mewakiliku
satu lagi mewakili sultan
dan sisanya untuk Tuhan
Begitulah isyarat yang kucatat
di langit pucat

"alamak,
bulan padam, bintang tak menyimpan keberuntungan
isyarat masih kau pegang?"

Segala yang kupandang
membuat jiwaku gemetar

"Turuti saja kemauannya,
demi Sultan, demi Sultan"

Kelak, keriput kalian
akan dikelupas rasa malu
saat isyaratku dituntas waktu

(jangkar terkubur
oleh sepah serapah
dan tetes darah dari sebalah matamu
yang dicukil nafsu)

Akhirnya,
kalian tunjuk pula aku sebagai nakhoda
melayarkan kapal perang
memecah malam,
memuingkan ketakutan.

Wonosobo, 2007

Puisi ini adalah tafsir dari cerita rakyat "Awang Garang" dari Riau, Sumatra Barat

0 Response to "Fragmen Sebelah Mata Buta"