Giatkan Literasi: Upaya Membayar Utang pada Buku

Jusuf AN

Saya mulai catatan ini dengan mengungkapkan kegumunan saya pada mereka yang telah mengorbankan banyak hal untuk buku. Tentu, bukan mereka yang cuma membahagiakan dirinya, melegakkkan nafsunya akan ilmu, atau menambah koleksi buku langka sebagai pajangan di ruang tamu.

Telah cukup banyak orang yang melakukan hal-hal ‘gila’ untuk buku. Di antara mereka ada yang mengayuh sepeda motor penuh buku, masuk ke pelosok-pelosok kampung demi melihat mata anak-anak berbinar bertemu aksara. Bahkan ada yang dengan seekor kuda, membawa buku ke desa-desa di pedalaman demi menyadarkan orang-orang, “ini lho, buku itu ada, dan asyik!” Atau mereka yang tanpa pamrih apapun menggelar buku di alun-alun lalu mengajak anak-anak membaca. Termasuk juga mereka yang merekalan buku-buku koleksi yang penuh kenangan untuk jadikan bacaan di rumahnya; merelakan rumah mereka ramai dikunjungi anak-anak, mas-mas, ibu-ibu dan bapak-bapak yang minat membacanya. Tidak hanya ‘gila’, bisa jadi mereka telah melampaui kegilaan itu sendiri.

Betapa tidak? Di dunia yang pragmatis ini, kelakuan mereka sama sekali tidak menguntungkan diri mereka sendiri secara materi? Di Wonosobo, saya kenal betul dengan beberapa orang yang punya bakat ‘kegilaan’ itu, di antara mereka adalah Maria Boniok dan Stevi Hambali (sepasang mempelai pendiri Istana Rumbia), Eko Hastuti (pendiri TBM Srikandi)-untuk menyebut tiga nama dari sekian banyak penggiat literasi di Wonosobo.

Dulu, saya sempat berdosa, mengira bahwa, “ah yang mereka lakukan itu ringan saja. Cuma buka pintu, mengajak membaca orang-orang, dan mengikhlaskan buku-buku yang tidak dikembalikan.” Saya juga bisa kalau mau. Faktanya, bertahun-tahun saya tidak melakukannya. Apakah saya tidak mau? Tentu saja saya sangat ingin, tetapi barangkali karena kegilaan saya masih nanggung jadi yang bisa saya lakukan cuma ngrasani dan nggampangke.

Sebenarnya, saya pernah nyaris gila, ketika sepulang dari Jogja dan mengabdi di sekolah yang baru berdiri. Di rumah yang mau ambruk yang dijadikan ruang kelas itu, saya bawa buku-buku koleksi saya dan mengajak anak-anak kampung itu membaca. Pernah pula, ketika masih menjadi guru, saya mewajibkan siswa-siswa untuk memiliki kartu perpustakaan, meminjam buku seminggu sekali, dan membuat laporan membaca. Tapi toh itu saya lakukan tidak konsisten. Payah!

Modal untuk bisa membuka rumah baca atau menggiatkan literasi sebenarnya bukan sarana prasarana, tetapi keberanian mengawali, lalu berupaya untuk bisa bernapas panjang: istiqomah. Bisa saja anda sekarang membuka rumah Anda dan mengatakan pada semua orang bahwa buku-buku di rumah Anda dipinjamkan, atau sekalian saja Anda pasang spanduk besar di depan rumah dengan embel-embel rumah baca. Tetapi mengajak mereka masuk rumah Anda untuk sekadar melihat-lihat koleksi buku Anda bisa jadi akan sangat sulit. Atau bisa jadi pada awalnya, setelah mengumumkan di rapat RT dan PKK mulai berdatangan orang-orang meminjam buku di rumah anda, tetapi apakah Anda bisa menjamin gairah membaca itu bertahan selama sebulan, tiga bulan, bahkan satu tahun?

Kalau cuma bilang “Ayo!” kondektur bus juga bisa!

“Ayo membaca!” Hem, yang paling mudah memang mengajak, tetapi ajakan macam apa yang akan kita sampaikan sehinga membuat orang yang kita ajak menurut. Apa yang dilakukan Mario Boniok dalam menggerakkan semangat membaca orang-orang di kampung Lipursari tentu tidak cukup hanya dengan, “Ayo membaca!” Jika cuma itu yang ia lakukan maka, Istana Rumbia akan menjadi gubuk rumbia yang sebulan saja sudah lapuk.

Lalu tentang motivasi mereka dalam menggerakkan minat membaca itu, sebenarnya apa? Materi? Hei, apakah dengan mendirikan istana Rumbia Maria Boniok mendapatkan gaji bulanan atau penghasilan tambahan? Sama sekali tidak! Meskipun Maria Boniok, misalnya, berkali-kali mendapatkan penghargaan karena kegilaannya itu, dan bisa jadi mendapat uang penyemangat, tetapi itu sangat tidak cukup untuk membiayai tenaga, pikiran dan perhatian yang terkikis untuk sang suami.

Ah ya...ya, bukankah kegilaan, sebagaimana cinta, seringkali tidak disadari penyebabnya. Bukankah cinta itu tidak tahu jawabannya ketika ditanya, kenapa?

Ketika saya tanya langsung, apa motivasi membuat rumah baca, Maria Boniok mengatakan bahwa awalnya buku-buku di rumahnya untuk konsumsi anak-anak sendiri, tetapi ternyata teman-teman anaknya banyak yang tergoda juga. “Senang melihat mereka tersenyum,” terang Boniok. Nah, kan? Cinta itu memberi kebahagiaan, bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga diri kita sendiri. Adakah yang lebih mahal dari kebahagiaan? tidak ada.

Lalu bagaimana agar kebahagiaan itu bernapas panjang? Bagaimana agar rumah baca yang didirikan bisa bertahan lama? Maria Boniok cukup simpel dan jeru memberikan jawaban. Katanya, “ikhlas!” Ia menambahkan bahwa dulu Istana Rumbia pernah dipasrahkan Desa agar mengurusnya. Nyatanya tidak berjalan. “Karena yang dilihat melulu soal uang,” katanya.

Seneng Maca?

Orang yang senang membaca belum tentu mau menularkan kesukaannya itu kepada orang lain secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Di lain sisi, ada orang yang tidak suka membaca tetapi menginginkan agar orang lain seneng maca. Katanya, “Membaca itu penting (dalam hati: bagi kalian), sebab dengan membaca kita jadi bertambah wawasan (dalam hati: itu sih cuma jargon. Sinetron juga penting!).”

Itulah manusia. Kita bisa bayangkan sekiranya semua orang senang membaca, tidak mungkin Arpusda Wonosobo membuat tagline Wonosobo Seneng Maca”. La iya, karena tujuan tagline itu bukan sebagai pengakuan bahwa memang masyarakat Wonosobo semuanya suka membaca, tetapi sebagai asa untuk menyadarkan bahwa membaca itu sesuatu yang hebat.

Jadi—seperti makalah saja—jika saya boleh menyimpulkan: untuk mewujudkan masyarakat Wonosobo seneng maca, tidak cuma butuh ajakan lisan dan iklan, tetapi diperlukan juga keteladanan, lebih-lebih orang tua, guru, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Selain fasilitas, para pejuang literasi sangatlah utama dalam menyembarkan virus senang maca, dan yang penting dijadikan sasaran adalah generasi muda dan anak-anak, sebab merekalah yang pada masa yang akan datang akan menggerakkan negeri ini.

Saran dan Rekomendasi

Saya menyarankan dan merekomendasikan untuk diri saya sendiri: “Kegilaan itu butuh kenekatan, kopi dan sesekali piknik. Kau punya banyak utang dengan buku-buku yang kau baca, dan cara membayarnya adalah dengan mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk suka membaca.”

Saran dan rekomendasi itu sudah saya lakukan sejak 3 bulan terakhir. Berat, tentu saja, maka kopi dan piknik bisa cukup meringankan. 

Musala al-Iksan: malam selepas hujan


Tak jauh dari rumah saya ada sebuah mushalla, Al-Ikhsan namanya. Dengan modal kenekatan kemudian saya mengadakan ngaji Qur’an untuk anak-anak yang tinggal di sekitar mushala. Waktunya habis maghrib sampai isya, yang disebut-sebut sebagai prime-time oleh stasiun teve. Saya berpikir, sayang sekali kalau anak-anak itu langsung pulang selepas mengaji. Kenapa tidak menunggu jamaah Isya sekalian? 
Absen: Rapi itu sulit ya?


Lalu saya membeli 35 majalah bobo bekas, dan membawa beberapa buku koleksi pribadi yang saya anggap cocok untuk konsumsi anak-anak. Dan apa yang kemudian terjadi? Mula-mula cuma 7 anak, lalu jadi 20 anak, kadang bahkan bisa sampai 25, dan stabil 7 sampai dengan 13 anak datang ke Mushala untuk melakukan aktifitas literasi. 
Data peminajman buku acak-acakan. Anak-anak menulis sendiri buku yang dipinjam dan menandai sendiri jika buku suda dikembalikan. Mereka belajar mandiri dan bertanggung jawab.

Belum genap dua bulan rutinitas mengaji dan membaca itu berjalan, semua sampul majalah sudah lenyap. Betapa anak-anak begitu antusias untuk membaca dan sebagian lagi bernafsu menyobeki sampulnya. Tapi, sebagaimana Boniok, melihat mereka membaca saja sungguh melegakan, terlebih lagi catatan di sirkulasi buku sudah lebih dari seratus nomor. 
Membaca selepas mengaji

Kadang akur kadang gelut: namanya saja anak-anak!
Malam Jumat: ngaji prei, full membaca  dan bercerita

Oh, andaikan di setiap musala atau Masjid ada perpusakaan kecil yang tidak hanya diisi buku-buku kegamaan, tapi juga dilengkapi buku-buku bacaan untuk anak, kita akan cukup yakin masa depan negeri ini akan lebih baik. Dan adakah salah, membaca majalah anak dan komik di rumah ibadah? Bukankah dulu Masjid kerap pula digunakan untuk mempelajari kimia, astronomi, dan bahasa? Ah sudahlah!

Saya tahu, yang saya lakukan belum apa-apa, tetapi demikianlah upaya saya untuk membayar utang berlimpah kepada buku. Buku sudah banyak memberikan banyak hal pada saya: wawasan, imajinasi, teman, pekerjaan, uang, kebaagiaan, dll. Dan sebelum tulisan ini saya pungkasi, tolong aminkan doa ini: “Ya Tuhan, jadikanlah penulis artikel ini istiqomah di jalan yang engkau ridhoi.”

***

Kepada Perpustakaan Daerah Wonosobo, selamat merayakan kelahiran ya. Tambah usia tamba ganteng gedungnya, dan semakin berlimpah bukunya, ramah peyalanannya. Kalau ada buku bekas segmen anak-anak, saya mau kok memanfaatkannya. Hee....he...

Postingan artikel ini diikutserakan dalam lomba blog #WonosoboSenengMaca.

Nb.

Jika tulisan ini menang, maka separuh dari hadiahnya akan saya sumbangkan untuk membeli buku-buku anak dalam rangka menambah semangat anak-anak di mushala al-Ikhsan, Mlipak, Wonosobo.

2 Responses to "Giatkan Literasi: Upaya Membayar Utang pada Buku "

Eko Hastuti said...

Keren mas Jusuf,dapat memanfaatkan waktu jeda setelah mengaji di mushola untuk mengajak anak-anak membaca. Ini jelas keputusan berbagi yang cerdas dan ikhlas. Juga ujian kesabaran untuk menyediakan waktu, tenaga, pikiran karena mengajak ke hal kebaikan apalagi membaca itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ujian kesabaran itu ada-ada saja, seperti buku dan majalah yang rusak,koleksi tidak kembali,bosan datang untuk membaca, tak ada suport dari pihak yang kita harapkan, dan lainnya. Pokoknya, mengajak membaca orang lain di negeri ini jadi barang langka, aneh, tidak masuk akal,karena pandangan orang sebatas materi atau uang.
Saya pernah ngalami sendiri, tetangga yang melihat kiprahku sampai berkomentar,"Lha omah bisa dikontrake kok malah mung nggo wadhah buku". Jadi itu benar dianggap kegilaan oleh sebagian orang. Hem..ceritanya njenengan sudah ketularan gila ini hehe..
Oke, selamat berjuang kawan, hanya kita yang tahu kenikmatannya membaca dan berbagi dengan buku. Semoga bisa menjalaninya dengan istiqomah.Amin.

FAISAL KAMAL said...

Semangat pak yusuf, harus banyak belajar kepada panjenengan.