Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka HARIAN BHIRAWA, Jum'at, 24 Mei 2013
Judul Buku: Pedang Rasul Penulis: Jusuf A.N. Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I, April 2013 Tebal: 352 halaman ISBN: 978-602-255-116-4
Beberapa pekan terakhir ini, kita kembali dihenyakkan dengan liputan berita tentang terorisme. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menggebrek tempat persembunyian terduga teroris di berbagai lokasi di daerah-daerah. Karena hampir setiap tahun mendengar dan menyaksikan berita itu, kita mungkin tidak lagi dibuat terkejut. Yang mengejutkan justru pola pikir dan sikap pelaku teroris.
Ketika seseorang memutuskan diri terlibat dalam jaringan dan aksi terorisme, ada landasan berpikir yang mendasari. Pelaku teroris berpikir, bersikap, dan bertindak tidak berangkat dari ruang hampa. Ada pemahaman internal, pengaruh lingkungan, pergulatan pemikiran, dan sebagainya sebelum seseorang membulatkan diri sebagai teroris. Lewat novel Pedang Rasul ini, kita diajak untuk menyelami titik mula seseorang bisa teracuni bibit terorisme.
Dimuat di Pustaka HARIAN BHIRAWA, Jum'at, 24 Mei 2013
Judul Buku: Pedang Rasul Penulis: Jusuf A.N. Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I, April 2013 Tebal: 352 halaman ISBN: 978-602-255-116-4
Beberapa pekan terakhir ini, kita kembali dihenyakkan dengan liputan berita tentang terorisme. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menggebrek tempat persembunyian terduga teroris di berbagai lokasi di daerah-daerah. Karena hampir setiap tahun mendengar dan menyaksikan berita itu, kita mungkin tidak lagi dibuat terkejut. Yang mengejutkan justru pola pikir dan sikap pelaku teroris.
Ketika seseorang memutuskan diri terlibat dalam jaringan dan aksi terorisme, ada landasan berpikir yang mendasari. Pelaku teroris berpikir, bersikap, dan bertindak tidak berangkat dari ruang hampa. Ada pemahaman internal, pengaruh lingkungan, pergulatan pemikiran, dan sebagainya sebelum seseorang membulatkan diri sebagai teroris. Lewat novel Pedang Rasul ini, kita diajak untuk menyelami titik mula seseorang bisa teracuni bibit terorisme.
Diceritakan novel ini, seseorang dengan nama Umar terlibat dalam gerakan yang melancarkan aksi pengeboman di mana-mana. Motifnya, ideologi kelompok yang telanjur merasuk sampai ruang bawah kesadarannya, bahwa negeri ini layak diperangi karena tidak menjadikan agamanya sebagai dasar negara. Di benaknya, doktrin-doktrin dengan pencuplikan dalil-dalil dari ayat-ayat kitab suci yang ditanamkan oleh kelompok garis keras itu begitu mempesona. Seolah-olah tak ada nalar kritis, Umar menerima saja. Dengan terlibat dalam aksi-aksi kelompok itu, Umar menyimpan kebanggaan telah melaksanakan amanat yang disampaikan Rasulullah Saw. lewat mimpinya.
Mimpi
diberi pedang Al-Ma’thur tentu tak
bisa ditafsirkan asal-asalan. Hanya saja, Umar lebih mempercayai tafsiran
Wahidin ketimbang Syam, mertuanya. Wahidin memahamkan Umar bahwa mimpi itu
adalah anjuran mengangkat pedang, terjun berperang, jihad di medan laga.
Wahidin dikenal Umar sebenarnya belumlah lama, namun interaksi yang massif
mampu memberikan pengaruh besar. Umar kenal Wahidin ketika dirinya meninggalkan
Jakarta dan tinggal di salah satu masjid di Semarang. Bahkan, Umar yang lulusan
STM bisa fasih salat belum ada setahun dan belum lancar membaca Al-Qur’an
ketika terjun dalam jamaah Laskar Pedang (hlm. 120-130).
Sebelumnya,
Umar adalah pemuda yang jauh dari agama. Di Semarang, Umar bertemu dengan Syam,
lalu mendapatkan pekerjaan di bengkel milik Syam. Umar juga diberi tumpangan
sementara untuk tinggal di rumah Syam. Di rumah itu, ada perpustakaan khusus
milik Syam yang terletak di lantai dua. Kebiasaan Syam yang tekun membaca
perlahan diikuti Umar. Selain profesional bekerja sebagai montir, Umar tak alpa
menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan lewat buku-buku yang dibacanya. Umar
pun berubah menjadi pemuda yang cerdas, salih, dan berkarakter baik. Ketika
telah mampu memiliki kontrakan sendiri, Umar masih menyempatkan diri berkunjung
ke perpustakaan Syam untuk meminjam buku. Dalam perjumpaan di rumah dan di
bengkel, putri Syam bernama Ida menaruh hati kepada Umar. Keinginan bersambut,
Umar dan Ida akhirnya menikah.
Sungguh
betapa malangnya Ida. Umar yang terobsesi dengan mimpinya tentang pedang
meninggalkan Ida untuk alasan akan berjihad. Sehari menikah, Umar menuju
Jakarta dan mengikuti pendidikan dan pelatihan ala Laskar Pedang. Keputusan
Umar itu membuat Ida meratap pilu. Kebersamaan dalam rumah tangga yang
didambakan Ida punah seketika. Tanpa suami di sisi dan tanpa nafkah suami
selama berbulan-bulan. Di Jakarta, Umar ternyata tidak berjihad, tetapi
merayapi lokasi-lokasi yang dianggap berbuat dosa. Umar baru menemui istrinya
ketika keluar dari penjara akibat menganiaya seorang polisi.
Pengaruh
Wahidin dengan ideologi jihad mengangkat senjata tidaklah hilang. Syam yang
memahamkan Umar bahwa mimpinya bermakna untuk mencabut pedang demi membunuh
nafsu dalam diri tak digubris. Pedang bukan bermakna menumpahkan darah, bukan
memaksakan kebenaran kepada pihak yang berbeda. Sehari bersua istri, Umar malah
minggat dari rumah lagi dan terlibat dalam pengeboman di berbagai tempat.
Jamaah yang dimasuki Umar bukan Laskar Pedang lagi, tetapi jamaah lebih
bergaris keras yang bercita-cita mendirikan negara Islam.
0 Response to "Menegakkan Islam yang Ramah, Bukan yang Marah"
Posting Komentar