Nyona Jelita, Kupu-kupu, dan Sepatu di Depan Pintu



 Tak ada yang lebih membakar dadanya kecuali ketika mendapati sepasang sepatu di depan pintu rumah si Nyona jelita. Sebuah rumah tanpa pagar, tanpa bunga, tanpa kursi dan meja di beranda. Warna temboknya merah tua dengan kaca-kaca jendela yang gelap. Ia telah berkali-kali melihat dari jarak dekat dan wajar jika sangat hafal. Di dalam rumah itu, mungkin ada teve, VCD, lukisan, kalender, foto keluarga, jam dinding, dispenser, kompor gas dan perabot rumah lainnya. Ah, entahlah. Mungkin kelak, ketika ia benar-benar jadi bertamu, tak akan ditemukannya benda-benda itu, siapa tahu. O, sepasang sepatu di depan pintu, selalu menggugurkan tekad-niatnya untuk bertamu.

Begitulah, betapa matanya seketika menjadi layu setiap kali melihat sepatu itu. Sepasang sepatu kulit warna coklat mengkilat, hampir sama dengan sepatu yang sering ia pakai sehari-hari. Yang persis sama adalah simpul talinya; simpul kupu-kupu. Ah, siapa sesungguhnya tamu dalam rumah itu?

***
Pada sebuah pagi yang gerimis ia tengah menunggu bus kota di halte ketika perempuan itu datang dari arah selatan dengan tangan kanan memegang gagang payung yang bergoyang-goyang oleh angin. Perempuan itu mengenakan kemeja putih serta rok cekak kotak-kotak mengingatkannya dengan penjaga mini-market di sebelah kopresi tempatnya kerja sehari-hari. Kecuali hari Minggu, sebelum pagi pukul tujuh, ia selalu ada di halte itu, akan tetapi baru pertama kali (dan ia sudah menduga tak akan terulang lagi) ia melihat perempuan itu. Perempuan jelita berambut hitam sebahu. Setelah menguncupkan payung perempuan itu berdiri tenang di sebelahnya. Selain mereka berdua ada seorang lelaki tua sedang menata koran-koran pagi, seolah-olah tengah menjemur kain-kain kering. Di belakang halte itu sebuah gedung sekolah berdiri gagah dengan  pintu gerbang membuka—bagai mulut raksasa. Ketika ratusan siswa mulai memasuki mulut raksasa itu lelaki itu sadar beberapa menit lagi tiba pukul tujuh dan ia mesti segera berangkat. Setengah delapan ia harus tiba di tempat kerja, berhadapan dengan tabel dan angka-angka. Tajam ia tatap jam tangan, lalu mundur beberapa langkah, kemudian memutar jarum jam dua puluh menit ke belakang, seolah dengan cara itu ia merasa tak lagi diburu-buru oleh waktu. Karena tak ingin menyesal dengan membiarkan perempuan itu berlalu begitu saja, maka ia segera mendekat. Sungguh, baginya tak mudah mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal itu. Ia menyapanya dengan suara serak dan berat. Perempuan itu, duh matanya, menatap teduh. Suaranya bening bagai bunyi garputala. Senyum menyungging bagai bunga lili. Lelaki itu menduga-duga, usia perempuan itu sekitar dua lima. Ia menangkap dan menyimpan setiap jawaban—terutama nama dan alamat—yang diucapkan perempuan itu tanpa sungkan. Cukup lama mereka berbincang dengan kalimat pendek-pendek, sampai lelaki itu terkejut, tak menyangka jika perempuan yang baru dikenalnya beberapa menit lalu jujur mengatakan statusnya: seorang Nyona, baru enam bulan masa kawin dan sebulan lalu dicerai suami. Sebuah pengakuan yang membuat dadanya bergetar seketika.
Pertemuan itu telah menghilangkan selera makan paginya hingga beberapa hari serta mengundang mimpi aneh dalam tidurnya yang pendek. Dalam mimpi itu ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu bersayap hitam, terbang tanpa kawan menyusuri padang yang gersang. Tiap kali terjaga dari mimpinya ia sering duduk berlama-lama di tubir ranjang. Memikirkan mimpi itu, tentu, selain juga melamunkan masa lalu.
Ia sering teringat Emak yang tinggal di sebuah kampung terpencil yang sudah hampir dua puluh tahun ia tinggalkan. Ia sering menggerutu sambil menjambaki rambutnya yang mulai kelabu. Kenapa dulu ia tergesa memutuskan pergi ke kota hanya dengan bekal selembar ijazah SMA? Entahlah. Yang terang, tak ada yang bisa ia dikerjakan di kampung dengan kepintaran yang sering disanjung hampir oleh semua guru sekolahnya. Memang ia punya beberapa petak ladang yang ditumbuhi pohon akasia, pisang, dan nangka. Tapi, baginya, mengurus ladang sama saja dengan membakar angka-angka delapan dalam ijazahnya. Ah, jika saja ia menuruti Emak untuk tetap tinggal di kampung, mengurus ladang dan beternak tentu cerita hidupnya akan lain. Mungkin ia sudah lama kawin dengan gadis seperkampungan dan tinggal menetap di rumah kayu warisan Bapak dan beranak-pinak. Sering pula terbersit dalam pikirannya mengemas barang kemudian untuk pulang ke kampung halaman. Tapi selalu ia urungkan. Betapa ia masih memegang kuat janji yang dulu ia ucapkan lantang-lantang saat pamitan: "Aku tak akan pulang jika belum punya rumah sendiri, Mak, tak akan! Tak akan pula aku beristri!"
Jangankan membangun rumah, mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri ia merasa kepayahan. Entah sudah berapa kali ia ganti-ganti kerja, dan yang terakhir diterima menjadi akunting di sebuah koperasi kecil. Selama ini ia mencoba menerima guratan nasib dan percaya, suatu ketika ia akan membuktikan janjinya pada Emak. Tapi pertemuannya dengan si Nyona telah mengacaukan pikirannya, apalagi setelah mimpi aneh itu terulang sampai berkali-kali.
Kenapa mimpi itu baru ia terima setelah pertemuannya dengan si Nyona? Bukankah sudah bertahun-tahun ia seolah menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang terbang tanpa kawan? Mungkinkah ini sebuah pertanda, bahwa Nyonaitu meruapakan jodohnya? Ia tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu meski sudah berkali-kali memikirkannya sejak bangun tidur hingga tertidur kembali. Maka, suatu senja, sepulang kerja, ia mengeluarkan alamat rumah si Nyona yang melekat di dinding ingatan untuk kemudian pergi bertandang. Entah kenapa ia begitu yakin jika mimpi aneh yang sudah berkali-kali hadir dalam tidurnya merupakan sebuah pertanda. Ya, Nyona itu pastilah jodohku. Toh tak salah ingkar pada janji yang menyiksa diri, pikirnya.
Tapi celaka, sepasang sepatu di depan pintu rumah yang ia tuju seolah menyuruhnya berbalik langkah. Lebih celaka lagi, telah berkali-kali pemandangan yang sama ia dapati. Ah, lelaki kalah. Payah!
***
Senja ini adalah senja ke tiga belas sejak pertama kali ia memergoki sepatu di beranda rumah si Nyona jelita. Itu berarti sudah dua belas kali ia berniat bertamu dan membalikkan langkah sebagai lelaki kalah. Sepulang kerja, seperti dua belas senja yang beriringan telah lewat, ia tak langsung pulang ke rumah kontrakannya. Ia berjalan memandang bayang-bayang tubuhnya yang memanjang di depan. Tak dirasakan tengkuknya yang pegal-pegal akibat terlalu lama membungkuk mengerjakan setumpuk kerja pembukuan. Langit senja yang cerah menaunginya melangkah menyusuri jalan aspal yang lengang. Ia membayangkan ketika sampai di depan rumah si Nyona jelita dan mendapati sepasang sepatu di depan pintu, ia tak akan peduli. Segera ia akan mengetuk pintu, lalu Nyona pemilik rumah akan membukanya, tercengang sebentar melihat wajahnya, memberi senyuman, kemudian akan menyuruhnya masuk dan duduk di kursi tamu dan lelaki itu tak menemukan siapa-siapa di sana dan hanya mendapati jam dinding yang diselimuti debu. Nyona  itu kemudian akan ke belakang dan kembali lagi membawakan secangkir teh hangat serta setoples roti kering yang tidak ia sukai dan Nyona itu menyuruhnya mencicipi. Setelah berbasa-basi sebentar, ia akan bertanya perihal sepatu di depan pintu itu dan si Nyona akan menjawab dengan suara bening bagai bunyi garputala, bahwa pemiliknya adalah dirinya sendiri. Lelaki itu pastilah akan tercengang. Lalu Nyona itu akan menjelaskan, dengan menaruh sepatu laki-laki di depan pintu ia merasa tidak sendirian lagi, kemudian menambahkan, mungkin dengan sesenggukan, bahwa sebenarnya ia sangat kesepian sejak cerai dengan sang suami. Begitulah kejadian yang sering ia harapkan.
Ia menggelengkan kepala, merasa tak yakin dengan dugaan yang barusan ia bayangkan. Tak terasa sudah cukup jauh ia melangkah di tengah hati yang rusuh. Rumah dengan dinding merah tua, tanpa pagar tanpa kursi dan meja di beranda itu samar-samar terlihat. Kian mendekati rumah itu kian kencang darahnya berdesir. Dan keraguan mendadak merayap di tengkuknya. Angin senter menerpa dadanya, tak hanya menjilati keringat, tapi juga tekad keberaniannya untuk bertemu Nyona itu. Ia perlambat langkah. Ia sangat yakin sepasang sepatu coklat mengkilat itu pastilah akan kembali ia lihat. Mungkin nanti, ia akan mengetuk pintu lebih dari sepuluh kali dan Nyona itu baru membukanya dengan tubuh basah keringat serta rambut yang lusuh. Nyona itu telah lupa dengan pertemuannya di halte dan kemudian lelaki itu akan mengingatkan. Setelah itu ia akan disuruh masuk dan duduk di kursi ruang tamu dan kemudian tanpa basa-basi ia bertanya, siapa pemilik sepatu itu, dan si Nyona akan menjawab dengan senyum bunga lili, menjelaskan bahwa ia sudah rujuk dengan sang suami. Jika benar demikian kejadiannya, maka secepatnya ia akan pamitan.
Ia berhenti. Mendongak menatap mendung yang tiba-tiba bergulung-gulung menelan bayangan tubuhnya. Tinggal beberapa meter lagi ia akan sampai di rumah yang ia tuju. Ia mendesah, mencoba mengumpulkan lagi keberanian yang sudah terbang disambang angin. Dengan cepat ia kembali mendapatkan bangunan keberaniannya, lebih kokoh dan mewah dari yang semula. Maka, ia berjalan dengan langka-langkah panjang dan pasti, seperti ketika berangkat pagi-pagi di awal bulan di mana ia biasa menerima gaji yang selalu habis dalam jangka sebulan. Tetapi begitu sampai di depan rumah si Nyona hatinya terhenyak. Kali ini ia melihat dua pasang sepatu terparkir di depan pintu rumah itu. Dua pasang sepatu dengan simpul tali kupu-kupu.

0 Response to "Nyona Jelita, Kupu-kupu, dan Sepatu di Depan Pintu"